Al-Qur’an adalah kitab yang terdiri atas ayat-ayat dan surat-surat yang
diturunkan secara bertahap sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan yang timbul.
Proses turunnya al-Qur’an secara bertahap juga sangat membantu manusia dalam
memahami dan mengikuti kandungan petunjuk kitab suci tersebut.
Beradasarkan realitas sejarah, ayat-ayat al-Qur’an ada yang turun dengan
didahului oleh sebab tertentu yang melatarbelakanginya, dan ada pula yang turun
tanpa didahului oleh sebab tertentu. Dan diantara ayat-ayat yang turun dengan
didahului oleh sebab tertentu, ada yang sebabnya tergambar secara tegas dan
gamblang dalam teks ayat itu, dan ada pula yang tidak dinyatakan secara jelas
dalam ayat yang bersangkutan. Ayat al-Qur’an yang secara tegas menyatakan sebab
turunnya, antara lain tampak dalam ayat yang memuat kata-kata “يسئلونك” (mereka bertanya kepadamu) atau “يستفتونك” (mereka meminta fatwa kepadamu). Sedangkan ayat yang
tidak memuat secara tegas sebab turunnya dapat dilacak dan dipelajari melalui
hadits-hadits Nabi Saw.
Oleh karena itu, salah satu hal penting dalam upaya memahami kandungan
pesan al-Qur’an secara utuh adalah mempelajari dan mengetahui konteks latar
belakang yang menjadi sebab turunnya al-Qur’an tersebut.
Pengertian Asbab al-Nuzul
Sebelum dikemukakan pengertian “Asbab al-Nuzûl” secara utuh dalam
pandangan ulama ‘Ulum al-Qur’an, maka perlu dikemukakan pengertian dari kedua
kata yang merangkainya secara kebahasaan. Kata “Asbab” merupakan bentuk plural dari kata tunggal “sebab”, yang
secara kebahasaan bermakna: “segala sesuatu yang dijadikan jalan yang dapat
menghubungkan atau menyampaikan kepada sesuatu lainnya”. Hal ini
sebagaimana dalam firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah [2] ayat 166:
Artinya: “(yaitu)
ketika orang-orang yang diikuti itu berlepas diri dari orang-orang yang
mengikutinya, dan mereka melihat siksa; dan (ketika) segala hubungan antara
mereka terputus sama sekali”. (Q.S. al-Baqarah [2]: 166)
Sedangkan kata “nuzul”, menurut bahasa setidaknya memilik dua
pengertian, yaitu: (1) “Gerakan menurun dari suatu tempat yang tinggi ke tempat
yang rendah” (al-inhidar aw al-inhithath min ‘uluwwin ila safalin),
seperti ungkapan “نزل فلان من الجبل”, Si A turun dari atas gunung; dan (2) “Mendiami, menempati, atau mampir
pada suatu tempat” (al-hulul), sebagaimana dalam ungkapan “نزل فلان في المدينة”, Si A tinggal di kota.
Dan sebelum diuraikan tentang pengertian “asbab al-Nuzul” lebih lanjut,
maka perlu untuk diperhatikan bahwa istilah “sebab” di sini, tidak sama dengan
istilah “sebab” yang dikenal dalam hukum sebab-akibat. Istilah “sebab” dalam
hukum sebab-akibat mengandung pengertian keharusan adanya “sebab” untuk
menimbulkan adanya “akibat”; dan suatu “akibat” tidak akan pernah terjadi tanpa
ada “sebab” yang mendahului.
Dan bagi al-Qur’an, meski diantara ayatnya yang turun didahului oleh sebab
tertentu, namun keberadaan sebab itu tidak mutlak adanya walaupun secara
realita telah terjadi peristiwanya. Adanya sebab bagi turunnya al-Qur’an tak
lain merupakan bentuk wujud nyata kebijaksanaan Allah SWT dalam memberikan
petunjuk kepada hamba-Nya. Dengan adanya sebab yang mendahului, maka akan lebih
tampak dan terasa kebenaran al-Qur’an selaku petunjuk yang sesuai dengan
kebutuhan dan kesanggupan manusia.
Menurut Imam al-Zarkasyi sebab turunnya ayat al-Qur’an ada dua kemungkinan,
yaitu: (a) adanya pertanyaan yang ditujukan kepada Nabi Saw; dan (b) adanya
peristiwa tertentu yang bukan dalam bentuk pertanyaan.
Sedangkan dalam istilah ‘ulum al-Qur’an, ada beberapa definisi yang
dikemukakan oleh para ulama untuk memberikan batasan makna “Asbab al-Nuzul”. Diantaranya
adalah:
(a) Menurut ‘Abd al-‘Azim al-Zarqani:
هو ما نزلت الآية أو الآيات متحدثة عنه أو مبينة لحكمه أيام وقوعه
“Asbab al-Nuzul adalah sesuatu, yang satu ayat atau beberapa ayat turun
dalam rangka berbicara tentangnya atau menjelaskan ketentuan-ketentuan hukum
yang terjadi pada waktu terjadinya peristiwa tersebut”.
(b) Menurut Dr. Subhi al-Shaleh:
ما نزلت الأية أو الآيات بسببه متضمنة له أو مجيبة عنه أو مبينة
لحكمه زمن وقوعه
“Asbab al-Nuzul ialah sesuatu yang menjadi sebab turunnya satu atau
beberapa ayat al-Qur’an yang terkadang memang mengandung peristiwa itu atau
sebagai jawaban pertanyaan darinya atau sebagai penjelasan terhadap hukum-hukum
yang terjadi pada saat terjadinya peristiwa tersebut”.
(c) Menurut Manna’ Khalil al-Qaththan:
ما نزل قرآن بشأنه وقت وقوعه كحادثة أو سؤال
“Asbab
al-Nuzul adalah sesuatu yang menyebabkan turunnya al-Qur’an berkenaan dengannya
pada waktu terjadinya, baik berupa satu kejadian atau berupa pertanyaan yang
diajukan kepada Nabi Saw”.
(d) Adapun
M. Quraish Shihab memperjelas pengertian “asbab
nuzul al-Qur’an” dengan cara
memilah peristiwanya. M. Quraish Shihab menyatakan bahwa yang dimaksudkan
dengan “asbab nuzul al-Qur’an” adalah: (1) Peristiwa-peristiwa yang
menyebabkan turunnya ayat, di mana ayat tersebut menjelaskan pandangan
al-Qur’an tentang peristiwa tadi atau mengomentarinya; (2) peristiwa-peristiwa
yang terjadi sesudah turunnya suatu ayat, di mana peristiwa tersebut dicakup
pengertiannya atau dijelaskan hukumnya oleh ayat tadi.
Meskipun
berbagai definisi “asbab
al-Nuzul” yang dikemukakan di
atas tampak agak sedikit berbeda, namun secara substansial semuanya sepakat
untuk menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan “asbab
al-Nuzul” adalah suatu
kejadian atau peristiwa yang melatarbelakangi turunnya suatu ayat. Dan ayat itu
sendiri merupakan jawaban, penjelasan, dan penyelesaian dari pada permasalahan
yang timbul dalam kejadian atau peristiwa tersebut.
“Asbab
al-Nuzul” merupakan
bahan-bahan sejarah yang mencakup peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa
turunnya al-Qur’an (‘ashr al-Tanzil) yang dapat dipakai untuk memberikan
keterangan-keterangan terhadap maksud dan pemahaman suatu ayat yang
dilatarbelakanginya.
Bentuk-bentuk peristiwa yang
melatarbelakangi turunnya al-Qur’an itu sangat beragam, diantaranya berupa: (a)
konflik sosial, seperti ketegangan yang terjadi antara suku Aus dan Khazraj;
(b) adanya suatu kesalahan fatal atau kesalahan pandangan yang membutuhkan
arahan dan teguran, seperti kasus salah seorang sahabat yang mengimami sholat
dalam keadaan mabuk; (c) adanya kasus pencemaran nama baik, seperti yang
dituduhkan kepada salah seorang Umm al-Mukminin Siti ‘Aisyah ra; (d) adanya
pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada Nabi Muhammad Saw, baik yang
berkaitan dengan sesuatu yang telah lewat, sedang, atau yang akan terjadi.