Kembali
Pada mulanya bahasa arab dapat bertahan dengan kuat terhadap kemunduran yang mulai terasa pada akhi akhir masa bani Umaiyah, karena tampuk pemerintahan, seperti jabatan panglima panglima, gubernur gubernur dan kedudukan kedudukan penting lainnya masih dipegang oleh orang arab, yang bahasanya masih tetap bahasa (fasih) murni dan bermutu, tambahan pula mereka amat fanatic terhadap bangsa dan bahasanya.
Pada mulanya bahasa arab dapat bertahan dengan kuat terhadap kemunduran yang mulai terasa pada akhi akhir masa bani Umaiyah, karena tampuk pemerintahan, seperti jabatan panglima panglima, gubernur gubernur dan kedudukan kedudukan penting lainnya masih dipegang oleh orang arab, yang bahasanya masih tetap bahasa (fasih) murni dan bermutu, tambahan pula mereka amat fanatic terhadap bangsa dan bahasanya.
Dimasa itu seorang pemimpin yang
menyimpang dari tata bahasa yang fasih, walaupun sedikit saja sudah dianggap
rendah dan hina. Tiap tiap pemimpin, baik ia pemimpin politik ataupun pemimpin
perang atau pemimpin social, semenjak dari khalifah sampai kepada kepala daerah
adalah orang orang yang ahli dalam bahasa , cakap berpidato dan dapat
mengkritik kaidah kaidah yang diucapkan dihadapkannya, kefasihan dan mutu
bahasa ini bukan saja dimiliki oleh para pemimpin tetapi juga dimiliki oleh
umumnya bangsa arab, karena merasa bangga terhadap keturunan dan nasab serta
perasaan bahwa mereka adalah golongan yang tertinggi dan teristimewa, sangat
mendalam dalam jiwa mereka (meskipun sifat ini bertentangan dengan agama islam)
sehingga mereka enggan bergaul dengan orang orang yang bukan bangsa arab dan
merasa rendah bila ikut bekerja bersama sama orang ajam (bukan bangsa arab)
itu.
Diantara orang orang arab itu jarang
yang mau bertani, bertukang, berternak dan sebagainya, dengan demikian bahasa
arab dapat terpelihara kemurniannya, karena percakapan percakapan orang arab
tidak dapat dipengaruhi oleh kelmahan dan kekurangan mutu bahasa yang
dipakai sehari hari oleh
orang ajam itu. Tetapi karena berdirinya kerajaan Bani Abbas boleh dikatakan
atas bantuan dari sokongan orang orang Persia, terutama atas bantuan Abu Muslim
Al Khurasani, maka sebagai balas jasa, diserahkanlah kepada mereka beberapa
jabatan yang penting dalam Negara. Dan dengan berangsur angsur bertambah
banyaklah diantara mereka yang menduduki posisi posisi yang tinggi seperti
menjadi gubernur, panglima dan menteri.
Makin lama bertambah naik nama dan
kedudukan mereka, dan dengan sendirinya bertambah turun kedudukan orang arab.
Akhirnya tidak sampai satu Abad semenjak berdirinya kerajaan Bani Abbas, semua
kedudukan yang Penting,
kecuali pangkat khalifah telah dipegang oleh orang Persia, oleh karena yang
memegang kekuasan bukan bangsa arab lagi, maka hilanglah perasaan bangga
terhadap nasab dan keturunan atau perasaan bahwa mereka adalah golongan yang
tinggi dan mulia, kalau dahulu mereka enggan bekerja sebagai petani, peternak,
dan tukang, sekarang mereka telah memasuki semua lapangan, bahkan banyak
diantara wanita wanita arab yang kawin dengan peranakan arab – Persia , bahkan
ada yang kawin dengan orang Persia sendiri.
Dengan berasimilasinya orang orang
arab kedalam masyarakat orang Persia, mulailah bahasa arab mengalami
kemunduran, apalagi pemimpin pemimpin yang berkuasa bukan orang arab, sehingga
timbullah satu bahasa pasar yang tidak dapat dianggap sebagai bahasa arab yang
murni, seperti yang terjadi di Mesir dan Damaskus, tetapi yang paling hebat
adalah kemunduran bahasa arab di Persia. Hal ini menimbulkan kesadaran para
ulama’ dan ahli bahasa arab, sehingga mereka bangun serentak untuk
mempertahankan bahasa arab dari keruntuhannya. Dengan rusaknya bahasa arab
tentu tidak aka nada lagi yang dapat memahami Alqur’anul karim, sedangkan
Alqur’an itu adalah kitab suci yang harus selalu dipelihara dan diselidiki isi
dan maknanya. Karena itu mereka merasa bahwa diatas pundak merekalah terletak
kewajiban untuk memelihara Alqur’an dengan jalan mempertahankan kemurnian
bahasa arab. Untuk itu mereka telah mengarang ilmu Nahwu (Gramatika bahasa arab
) agar bahasa arab itu dapat dipelajari dengan baik oleh umat yang tidak
berbahasa arab, sehingga mereka terhindar dari kesalahan kesalahan pengucapan
dan dapat membaca dengan fasih.
Ilmu ini dirintis oleh penyusunnya,
mula mula oleh Abul Aswad Ad Duali, atas nasehat Ali bin abu thalib. Kemudian
ilmu ini berkembang di Basrah dan menjadi luas pengembangannya, sehingga banyak
ulama’ ulama’ atau ahli bahasa bahasa yang mengarang kitab kitab Nahwu itu.
Diantara pengarang pengarang kitab kitab Nahwu itu ialah Abul Ishaq Al Hadhrami
(wafat 117 H ), Isa bin
Umar (wafat 149 H ), pengarang
kitab “Al Jaami’” dan “Al Ikmal” ialah Al Khalil bin Ahmad, Sibawalhi, Abu Amir
bin Al’Ala’ (wafat 154 H ), dan Al Ahfasy murid Sibawalhi. Ilmu Nahwu ini berkembang pula di
Kufah yang dipelopori oleh Mu’Adz Al Harra’, Abu Ja’far Ar Ruasi dan kedua murid
muridnya Al Kisai dan Al Farra’, sehingga
terjadilah dua aliran dalam ilmu Nahwu ini yaitu : Aliran Basrah dan Aliran Kufah.
Akhirnya kedua aliran ini bertemu di Bagdhad, pusat pemerintahan Abbasiyah,
masing masing dibahas oleh Ibnu Qutaibah dan Hanifah Al Dinauri.