Maryam yang disebut-sebut dalam kisah Zakaria adalah anak tunggal dari Imran seorang daripada pemuka-pemuka dan ulama Bani Isra’il. Ibunya saudara ipar kepada Nabi Zakaria adalah seorang perempuan yang mandul yang sejak bersuamikan Imran belum merasa berbahagia jika belum memperoleh anak. Ia merasa hidup tanpa anak adalah sunyi dan membosankan. Ia sangat mendambakan keturunan untuk menjadi pengikat yang kuat dalam kehidupan bersuami-isteri, penglipur duka dan pembawa suka di dalam kehidupan keluarga. Ia sangat akan keturunan sehingga bila ia melihat seorang ibu menggandung bayinya atau burung memberi makan kepada anaknya, ia merasa iri hati dan terus menjadikan kenangan yang tak kunjung lepas dari ingatannya.
Tahun demi tahun berlalu, usia makin
hari makin lanjut, namun keinginan tetap tinggal keinginan dan idam-idaman
tetap tidak menjelma menjadi kenyataan. Berbagai cara dicobanya dan berbagai
nasihat dan petunjuk orang diterapkannya, namun belum juga membawa hasil. Dan
setelah segala daya upaya yang bersumber dari kepandaian dan kekuasaan manusia
tidak membawa buah yang diharapkan, sadarlah isteri Imran bahwa hanya Allah
tempat satu-satunya yang berkuasa memenuhi keinginannya dan sanggup mengaruniai
dengan seorang anak yang didambakan walaupun rambutnya sudah beruban dan
usianya sudah lanjut. Maka ia bertekad membulatkan harapannya hanya kepada
Allah bersujud siang dan malam dengan penuh khusuk dan kerendahan hati
bernadzar dan berjanji kepada Allah bila permohonannya dikabulkan, akan menyerahkan
dan menghibahkan anaknya ke Baitul Maqdis untuk menjadi pelayan, penjaga dan
memelihara rumah suci itu dan sesekali tidak akan mengambil manfaat dari
anaknya untuk kepentingan dirinya atau kepentingan keluarganya.
Harapan isteri Imran yang dibulatkan
kepada Allah tidak tersia-sia. Allah telah menerima permohonannya dan
mempersembahkan doanya sesuai dengan apa yang telah disuratkan dalam takdir-Nya
bahwa dari suami isteri Imran akan diturunkan seorang nabi besar. Maka
tanda-tanda permulaan kehamilan yang dirasakan oleh setiap perempuan yang
mengandung tampak pada isteri Imran yang lama kelamaan merasa gerakan janin di
dalam perutnya yang makin membesar. Alangkah bahagia si isteri yang sedang
hamil itu, bahwa idam-idamannya itu akan menjadi kenyataan dan kesunyian rumah
tangganya akan terpecahlah bila bayi yang dikandungnya itu lahir. Ia bersama
suami mulai merancang apa yang akan diberikan kepada bayi yang akan datang itu.
Jika mereka sedang duduk berduaan tidak ada yang diperbincangkan selain soal bayi
yang akan dilahirkan. Suasana suram sedih yang selalu meliputi rumah tangga
Imran berbalik menjadi riang gembira, wajah sepasang suami isteri Imran menjadi
berseri-seri tanda suka cita dan bahagia dan rasa putus asa yang mencekam hati
mereka berdua berbalik menjadi rasa penuh harapan akan hari kemudian yang baik
dan cemerlang.
Akan tetapi sangat benarlah kata
mutiara yang berbunyi: “Manusia merancang, Tuhan menentukan. Imran yang sangat
dicintai dan sayangi oleh isterinya dan diharapkan akan menerima putera
pertamanya serta mendampinginya dikala ia melahirkan , tiba-tiba direnggut
nyawanya oleh Izra’il dan meninggalkan isterinya seorang diri dalam keadaan
hamil tua, pada saat sebagaimana biasanya rasa cinta kasih sayang antara suami
isteri menjadi makin mesra. Rasa sedih yang ditinggalkan oleh suami yang
disayangi bercampur dengan rasa sakit dan letih yang didahului kelahiran si
bayi, menimpa isteri Imran di saat-saat dekatnya masa melahirkan. Maka setelah
segala persiapan untuk menyambut kedatangan bayi telah dilakukan dengan
sempurna lahirlah ia dari kandungan ibunya yang malang menghirup udara bebas.
Agak kecewalah si ibu janda Imran setelah mengetahui bahwa bayi yang lahir itu
adalah seorang puteri sedangkan ia menanti seorang putera yang telah dijanjikan
dan bernadzar untuk dihibahkan kepada Baitulmaqdis. Dengan nada kecewa dan
suara sedih berucaplah ia seraya menghadapkan wajahnya ke atas: “Wahai Tuhanku,
aku telah melahirkan seorang puteri, sedangkan aku bernadzar akan menyerahkan
seorang putera yang lebih layak menjadi pelayan dan pengurus Baitulmaqdis.
Allah akan mendidik puterinya itu dengan pendidikan yang baik dan akan
menjadikan Zakaria, iparnya dan bapak saudara Maryam sebagai pengawas dan
pemeliharanya.
Demikianlah maka tatkala Maryam
diserahkan oleh ibunya kepada pengurus Baitulmaqdis, para rahib berebutan
masing-masing ingin ditunjuk sebagai wali yang bertanggungjawab atas pengawasan
dan pemeliharaan Maryam. Dan karena tidak ada yang mau mengalah, maka
terpaksalah diundi diantara mereka yang akhirnya undian jatuh kepada Zakaria
sebagaimana dijanjikan oleh Allah kepada ibunya. Tindakan pertama yang diambil
oleh Zakaria sebagai petugas yang diwajibkan menjaga keselamatan Maryam ialah
menjauhkannya dari keramaian sekeliling dan dari jangkauan para pengunjung yang
tiada henti-hentinya berdatangan ingin melihat dan menjenguknya. Ia ditempatkan
oleh Zakaria di sebuah kamar diatas loteng Baitulmaqdis yang tinggi yang tidak
dapat dicapai melainkan dengan menggunakan sebuah tangga. Nabi Zakaria merasa
bangga dan bahagia beruntung memenangkan undian memperoleh tugas mengawasi dan
memelihara Maryam secara sah adalah anak saudaranya sendiri. Ia mencurahkan
cinta dan kasih sayangnya sepenuhnya kepada Maryam untuk menggantikan anak
kandungnya yang tidak kunjung datang. Tiap ada kesempatan ia datang
menjenguknya, melihat keadaannya, mengurus keperluannya dan menyediakan segala
sesuatu yang membawa ketenangan dan kegembiraan baginya. Tidak satu hari pun
Zakaria pernah meninggalkan tugasnya menjenguk Maryam.
Rasa cinta dan kasih sayang Zakaria
terhadap Maryam sebagai anak saudara isterinya yang ditinggalkan ayahnya
meningkat menjadi rasa hormat dan takzim tatkala terjadi suatu peristiwa yang
menandakan bahwa Maryam bukanlah gadis biasa sebagaimana gadis-gadis yang lain,
tetapi ia adalah wanita pilihan Allah untuk suatu kedudukan dan peranan besar
di kemudian hari. Pada suatu hari tatkala Zakaria datang sebagaimana biasa,
mengunjungi Maryam, ia mendapatinya lagi berada di mihrabnya tenggelam dalam
ibadah berzikir dan bersujud kepada Allah. Ia terperanjat ketika pandangan
matanya menangkap hidangan makanan berupa buah-buahan musim panas terletak di
depan Maryam yang lagi bersujud. Ia lalu bertanya dalam hatinya, dari manakah
gerangan buah-buahan itu datang, padahal mereka masih lagi berada pada musim
dingin dan setahu Zakaria tidak seorang pun selain dari dirinya yang datang
mengunjungi Maryam. Maka ditegurlah Maryam tatkala setelah selesai ia bersujud
dan mengangkat kepala: “Wahai Maryam, dari manakah engkau memperoleh rizki ini,
padahal tidak seorang pun mengunjungimu dan tidak pula engkau pernah
meninggalkan mihrabmu? Selain itu buah-buahan ini adalah buah-buahan musim
panas yang tidak dapat dibeli di pasar dalam musim dingin ini.”
Maryam menjawab: “Inilah pemberian
Allah kepadaku tanpa aku berusaha atau minta. Dan mengapa engkau merasa heran
dan takjub? Bukankah Allah Yang Maha Berkuasa memberikan rizkinya kepada siapa
saja yang Dia kehendaki dalam bilangan yang tidak ternilai besarnya?” Demikianlah
Allah telah memberikan tanda pertamanya sebagai mukjizat bagi Maryam, gadis
suci, yang dipersiapkan oleh-Nya untuk melahirkan seorang nabi besar yang
bernama Isa a.s. Kisah lahirnya Maryam dan pemeliharaan Zakaria kepadanya dapat
dibaca dalam Al-Quran surah Ali Imran ayat 35 - 37 dan 42 - 44.