Dengan melalui jalan pasir dan Sahara yang luas dengan panas mataharinya yang terik dan angin samumnya {panas} yang membakar kulit, Ya’qub meneruskan perjalanan seorang diri, menuju ke Fadan A’ram dimana bapak saudaranya Laban tinggal. Dalam perjalanan yang jauh itu , ia sesekali berhenti beristirahat bila merasa letih dan lesu .Dan dalam salah satu tempat perhentiannya ia berhenti karena sudah sangat letih, lalu tertidurlah Ya’akub dibawah teduhan sebuah batu karang yang besar .Dalam tidurnya yang nyenyak, ia mendapat mimpi bahwa ia dikaruniakan rezeki yang luas, penghidupan yang aman damai, keluarga dan anak cucu yang sholeh dan bakti serta kerajaan yang besar dan makmur.
Terbangunlah Ya’akub dari tidurnya,
mengusapkan matanya menoleh ke kanan dan ke kiri dan sadarlah ia bahwa apa yang
dilihatnya hanyalah sebuah mimpi namun ia percaya bahwa mimpinya itu akan
menjadi kenyataan di kemudian hari sesuai dengan doa ayahnya yang masih tetap
mendengung di telinganya. Dengan diperoleh mimpi itu ,ia merasa segala letih
yang ditimbulkan oleh perjalanannya menjadi hilang seolah-olah ia memperoleh
tenaga baru dan bertambahlah semangatnya untuk secepat mungkin tiba di tempat
yang dituju dan menemui sanak-saudaranya dari pihak ibunya.
Tiba pada akhirnya, Ya’akub di depan
pintu gerbang kota Fadan A’ram. Setelah berhari-hari siang dan malam menempuh
perjalanan yang membosankan tiada yang dilihat selain dari langit di atas dan
pasir di bawah. Alangkah lega hatinya ketika ia mulai melihat binatang-binatang
peliharaan berkeliaran di atas ladang-ladang rumput ,burung-burung berterbangan
di udara yang cerah dan para penduduk kota berhilir mondar mandir mencari
nafkah dan keperluan hidup masing-masing.
Sesampainya di salah satu persimpangan
jalan, dia berhenti sebentar bertanya salah seorang penduduk di mana letaknya
rumah saudara ibunya Laban barada. Laban seorang kaya-raya yang kenamaan
pemilik dari suatu perusahaan perternakan yang terbesar di kota itu tidak sukar
bagi seseorang untuk menemukan alamatnya. Penduduk yang ditanyanya itu segera
menunjuk ke arah seorang gadis cantik yang sedang menggembala kambing seraya
berkata kepada Ya’akub:”Kebetulan sekali, itulah dia anak perempuan Laban,
Rahil, yang akan dapat membawa kamu ke rumah ayahnya”.
Dengan hati yang berdebar, pergilah
Ya’akub menghampiri seorang gadis ayu dan cantik itu, lalu dengan suara yang
terputus-putus seakan-akan ada sesuatu yang mengikat lidahnya ,Ya’akub
mengenalkan diri, bahwa ia adalah saudara sepupunya sendiri. Rifqah ibunya,
saudara kandung dari ayah si gadis itu, Laban. Diterangkan lagi kepada Rahil,
tujuannya datang ke Fadam A’raam dari Kan’aan. Mendengar kata-kata Ya’akub yang
bertujuan hendak menemui ayahnya, Laban, dan untuk menyampaikan pesanan(Ishaq).
Maka, dengan senang hati, sikap yang ramah, muka yang manis , Rahil (anak gadis
Laban) mempersilakan Ya’akub mengikutinya balik ke rumah untuk menemui ayahnya
,Laban, iaitu bapa saudara Ya’akub.
Setelah berjumpa, lalu
berpeluk-pelukanlah dengan mesranya Laban dengan Ya’akub, tanda kegembiraan
masing-masing. Pertemuan yang tidak disangka-sangka itu dan mencetuskan airmata
bagi kedua-dua mereka, mengalirlah air mata oleh rasa terharu dan sukacita.
Laban bin Batu’il, menyediakan tempat dan bilik khas untuk anak saudaranya itu,
Ya’akub, yang tiada bedanya dengan tempat-tempat anak kandungnya sendiri,
dengan senang hatilah Ya’akub tinggal dirumah Laban seperti rumah sendiri.
Setelah selang beberapa waktu tinggal
di rumah Laban , Ya’akub menyampaikan pesanan ayahnya (Ishaq), agar Ishaq dan
Laban menjadi besan, dengan mengawinkannya kepada salah seorang dari
puteri-puterinya. Pesanan tersebut di terima oleh Laban, dia bersetuju akan
mengawinkan Ya’akub dengan salah seorang puterinya. Sebagai mas kahwin, Ya’akub
harus memberikan tenaga kerjanya di dalam perusahaan penternakan bakal
mentuanya selama tujuh tahun. Ya’akub setuju dengan syarat-syarat yang
dikemukakan oleh Laban. Bekerjalah Ya’akub sebagai seorang pengurus perusahaan
penternakan terbesar di kota Fadan A’raam itu.
Tujuh tahun telah dilalui oleh Ya’qub
sebagai pekerja dalam perusahaan penternakan Laban. Ya’akub menagih janji bapa
saudaranya, untuk dijadikan sebagai anak menantunya. Laban menawarkan kepada
Ya’akub, agar menyunting puterinya yang bernama Laiya sebagai isteri. Ya’akub
berhendakkan Rahil adik Laiya, karena Rahil lebih cantik dan lebih ayu dari
Laiya. Ya’akub menyatakan hasrat untuk berkawin dengan Rahil, bukan Laiya.
Laban mengerti keinginan Ya’akub, namun hasrat itu ditolak karena mengikut adat
mereka, kakak harus dikahwinkan dahulu dari adiknya. Laban yang tidak mahu
kecewakan hati Ya’akub, lalu menyuarakan pendapat, agar menerima Laiya sebagai
isteri pertama. Bagi mengawini Rahil, syarat yang sama juga diberi kepada
Ya’akub, sebelum Ya’akub dapat memiliki Rahil.
Ya’akub yang sangat hormat kepada
bapak saudaranya dan merasa berhutang budi kepadanya yang telah menerimanya di
rumah sebagai keluarga sendiri. Malah, Laban melayaninya dengan baik dan
menganggapnya seperti anak kandungnya sendiri. Lalu, Ya’akub tidak dapat
berbuat apa-apa selain menerima cadangan bapak saudaranya itu . Perkawinan
dengan Laiya dilaksanakan, dan perjanjian untuk mengawini Rahil ditandatangani.
Begitu masa tujuh tahun kedua berakhir
dikawinkanlah Ya’qub dengan Rahil gadis yang sangat dicintainya dan selalu
dikenang sejak pertemuan pertamanya tatkala ia masuk kota Fadan A’raam. Dengan
demikian Nabi Ya’qub beristerikan dua wanita bersaudara, kakak dan adik, hal
mana menurut syariat dan peraturan yang berlaku pada waktu tidak terlarang.
Akan tetapi, syariat ini diharamkan oleh Muhammad S.A.W.
Laban memberi hadiah seorang hamba
sahaya untuk menjadi pembantu rumahtangga kepada setiap satu anak perempuannya,
Laiya dan Rahil. Dan dari kedua isterinya serta kedua hamba sahayanya itu
Ya’qub dikaruniai dua belas anak, di antaraya Yusuf dan Binyamin dari ibu
Rahil.