Pembalasan Tuhan terhadap kaum Aad yang kafir dan tetap membangkang itu diturunkan dalam dua Tahap pertama berupa kekeringan yang melanda ladang-ladang dan kebun-kebun mereka, sehingga menimbulkan kecemasan dan kegelisahan, sehingga mereka tidak memperoleh hasil dari ladang-ladang dan kebun-kebun seperti biasanya. Dalam keadaan demikian Nabi Hud masih berusaha meyakinkan mereka bahwa kekeringan itu adalah suatu permulaan siksaan dari Allah yang dijanjikan dan bahwa Allah masih lagi memberi kesempatan kepada mereka untuk sadar akan kesesatan dan kekafiran mereka dan kembali beriman kepada Allah dengan meninggalkan persembahan mereka yang batil kemudian bertaubat dan memohon ampunan kepada Allah agar segera hujan turun kembali dengan lebatnya dan terhindar mereka dari bahaya kelaparan yang mengancam. Akan tetapi mereka tetap belum mau percaya dan menganggap janji Nabi Hud itu adalah janji kosong belaka. Mereka bahkan pergi menghadap berhala-berhala mereka memohon perlindungan dari musibah yang mereka hadapi.
Tantangan mereka terhadap janji
Allah yang diwahyukan kepada Nabi Hud segera mendapat jawaban dengan datangnya
pembalasan tahap kedua yang dimulai dengan terlihatnya gumpalan awan dan mega
hitam yang tebal di atas mereka yang disambutnya dengan gembira, karena dikira
bahwa hujan akan segera turun membasahi ladang-ladang dan menyirami kebun-kebun
mereka yang sedang mengalami kekeringan. Melihat sikap kaum Aad yang sedang
bersuka ria itu berkatalah Nabi Hud dengan nada mengejek: “Mega hitam itu
bukanlah mega hitam dan awam rahmat bagi kamu tetapi mega yang akan membawa
kehancuran kamu sebagai pembalasan Allah yang telah aku janjikan dan kamu
nanti-nantikan untuk membuktikan kebenaran kata-kataku yang selalu kamu sanggah
dan kamu dustai.
kemudian menjadi kenyataan apa
yang disampaikan oleh Nabi Hud itu bahwa bukan hujan yang turun dari awan yang
tebal itu tetapi angin taufan yang dahsyat dan kencang disertai bunyi gemuruh
yang mencemaskan yang telah merusakkan bangunan-bangunan rumah dari dasar
hingga membawa berterbangan semua perabot-perabot dan harta benda milik mereka
dan melemparkan sejauh jauhnya binatang-binatang ternak itu. Keadaan kaum Aad
menjadi panik mereka berlari kesana kemari dan hilir mudik mencari
perlindungan. Suami tidak tahu di mana isterinya berada dan ibu juga kehilangan
anaknya sedang rumah-rumah menjadi sama rata dengan tanah. Bencana angin taufan
itu berlangsung selama delapan hari dan tujuh malam sehingga sempat menyapu
bersih kaum Aad yang congkak itu dan menamatkan riwayatnya dalam keadaan yang
menyedihkan itu untuk menjadi pelajaran dan perumpamaan bagi umat-umat yang
akan datang.
Adapun Nabi Hud dan para
sahabatnya yang beriman telah mendapat perlindungan Allah dari bencana yang
menimpa kaumnya yang kacau balau dan tenang seraya melihat keadaan kaumnya yang
kacau balauitu serta mendengar gemuruhnya angin dan bunyi pohon-pohon dan
bangunan-bangunan yang berjatuhan serta teriakan dan tangisan orang yang
meminta tolong dan mohon perlindungan. Setelah keadaan cuaca kembali normal dan
tenang maka tanah Al-Ahqaf sudah menjadi sunyi senyap dari kaum Aad maka
pergilah Nabi Hud meninggalkan tempatnya serta berhijrah ke Hadramaut, di mana
ia tinggal untuk menghabiskan sisa hidupnya sampai ia wafat dan dimakamkan di
sana, dimana sampai sekarang makamnya yang terletak di atas sebuah bukit di
suatu tempat lebih
kurang 50 km dari kota Siwun dikunjungi
para penziarah yang datang banyak orang dari sekitar daerah itu, terutama pada
bulan Sya'ban pada setiap tahun.