Perlawanan penduduk Sadom terhadap dakwah kebenaran yang disampaikan oleh Nabi Luth kepada mereka membuat kesedihan dan kedukaan di hati Nabi Luth sendiri. Betapa kaumnya tidak mau menerima kebenaran dan tidak menghendaki diri mereka bersih dari perangai yang hina dan merusakkan itu.
Hari demi hari berlalu. Setiap
isteri Nabi Luth melihat beberapa lelaki datang ke rumahnya, ia segera memberi
tahu kaumnya tentang hal itu dan setiap kali berita yang dibawanya sampai
kepada kaumnya si perempuan tua datang kepadanya dengan membawa sekeping perak
seraya berkata: “Jika engkau selalu menolong kami, niscaya engkau akan dapatkan
terus sekeping perak, sementara suamimu tidak dapat menyeru kepadanya.” Wajah
perempuan tua itu tertawa seperti tawa syaitan, kemudian pergi…
Sementara itu, seruan Nabi Luth
kepada kaumnya tidak menambah apa-apa kecuali perlawanan dan kesombongan.
Mereka tetap selalu berpaling dari ajakan suci itu. Bahkan mereka terus-menerus
melakukan perbuatan keji tatkala Nabi Luth memperingatkan akan datangnya siksa
Allah atas mereka apabila mereka tidak mau berhenti dari kesesatannya. Mereka
malah menentang Nabi Luth dengan berkata: “Datangkanlah kepada kami azab dari
Allah, jika kamu termasuk orang-orang yang benar.” Maka, Nabi Luth pun memohon
kepada Allah, agar Allah menolongnya dari kaumnya.
Nabi Luth berdoa: “Ya, Tuhanku,
tolonglah aku (dengan menimpakan azab) atas kaum yang berbuat kerusakan itu.”
(Al-Ankabut: 30) Allah memperkenankan doa Nabi Luth as, dan mengutus Jibril as.
untuk membinasakan mereka. Jibril datang ke Negeri Sadom dengan menyerupai dua
orang lelaki yang tampan. “Dia (Luth) merasa susah dan sempit dadanya karena
kedatangan mereka. Dan ia berkata: “Ini adalah hari yang amat sulit.” (Hud: 77)
Nabi Luth as. cemas memikirkan
apa yang bakal diperbuat kaumnya jika mereka mengetahui kedatangan tamu lelaki
yang berwajah `cantik’ di rumahnya. Bagaimana ia dapat mempertahankan dan
memelihara mereka dari kemungkaran kaumnya? Ah, bukankah tidak ada yang
mengetahui kedatangan mereka, kecuali dia sendiri, dan kedua puterinya?
Sebaliknya kedatangan kedua tamu Nabi Luth itu merupakan kesempatan bagi
isterinya untuk menambah kepingan-kepingan perak yang biasa ia peroleh dari si
wanita tua. Sekarang, ia harus mengutus seseorang kepada kaumnya untuk
memberitahu mereka. Tetapi kedua puterinya sedang sibuk menyiapkan hidangan
bagi kedua tamu ayahnya, atas perintah Nabi Luth. Karena keinginannya yang
mendesak, isteri Luth akhirnya memberi isyarat kepada salah seorang puterinya
untuk mendekat. Kemudian ia membisikkan beberapa kalimat ke telinga anak
perempuannya itu. Sesaat kemudian, sang puteri segera keluar rumah untuk
memberitahu kaumnya, sebagaimana biasa.
Di tengah-tengah kerumunan orang
banyak anak Nabi Luth melihat seorang perempuan tua melambaikan tangan sambil mengisyaratkan
panggilan kepadanya. Segera ia mendekati perempuan itu dan memberitahu tentang
dua lelaki tampan yang datang ke rumahnya.
Perempuan tua itu kemudian
menyuruh ia cepat pulang, sementara kelompok lelaki menghampiri seraya
bertanya: “Apakah yang terjadi? Apakah ada berita baru?” Wajah si perempuan tua
menampakkan senyum tipuan sambil berkata: “Kali ini tidak kurang dari empat
potong emas harus kuterima.”
Dengan bersemangat kaumnya
bertanya: “Apakah yang terjadi? Apakah ada yang istimewa?”
Perempuan itu berkata kepada
mereka, sementara ia membuka matanya lebar-lebar disertai syaitan. “Kalian akan
memperoleh apa yang kalian kehendaki, yaitu dua orang lelaki yang berwajah
`tampan’. Dengan wajah buas dan bernafsu, mereka bertanya dengan tidak sabar. “Di
mana mereka? Di mana lelaki berwajah `tampan’ itu?
“Berikan harta kepadaku terlebih
dahulu, barulah kuberi tahu kalian!” Katanya. Sebagian dari mereka menyahut:
“Wahai wanita tua, engkau yang tamak, tidak pernah kenyang!” Dan sebahagian
yang lain berkata: “Inilah harta untukmu, tetapi cepat katakan, di mana lelaki
yang berwajah `tampan’ itu?” Setelah tangannya menggenggam emas, berkatalah
perempuan tua itu kepada mereka. “Mereka ada di rumah Luth…” Hampir-hampir
kaumnya tidak mendengar ucapan perempuan tua itu dengan jelas. Tetapi, sesaat
kemudian, mereka berlomba-lomba untuk segera datang ke rumah Nabi Luth.
Masing-masing ingin memperoleh kepuasan dari dua lelaki `tampan’ yang ada di
rumah Luth. Sesampainya mereka di sana, didapati pintu rumah Nabi Luth
tertutup. Segeralah mereka mengetuk keras sambil berteriak. “Bukakan, Luth
bukalah pintu-pintumu! Kalau tidak, kami terpaksa akan memecahkannya!” Isteri
Nabi Luth mencoba menemui suaminya yang ternyata telah meninggalkan kedua
tamunya di dalam kamar, sementara ia sendiri mendekati pintu rumahnya yang
tertutup dan memisahkan dia dengan sekumpulan kaumnya. Isteri Nabi Luth
mengintai dari dalam. Hatinya senang. Sebentar lagi ia bakal memperoleh
sekeping perak dari si perempuan tua, sesuai dengan kebiasaan yang telah
berlangsung selama ini. Bahkan di samping itu, tanpa diketahuinya, ia mungkin
bakal memperoleh pula sekeping emas sebagai bonus. Teriakan kaum Luth bertambah
keras dan garang. Mereka tidak sabar dan ingin memecah pintu agar dapat masuk
dan menemui tamu-tamu Nabi Luth. Apakah yang akan dikatakan oleh Nabi Luth atas
tindakan kebengisan yang diperbuat oleh kaumnya yang rendah itu?
Nabi Luth pun berdiri terpaku;
hanya pintu yang memisahkannya dari kaumnya itu. Sesaat kemudian, Nabi Luth
berkata kepada mereka demi menenangkan keadaan: “Hai, kaumku, inilah
puteri-puteriku, mereka lebih suci bagimu. Maka, bertakwalah kepada Allah dan
janganlah kamu mencemarkan namaku di depan tamuku. Tidak adakah di antaramu
seorang yang dapat menbedakan baik dan buruk. Ya, orang-orang yang berakal
ketika itu telah dihinggapi pikiran yang rendah, sehingga nafsu mereka sulit
dibendung.
Luth kemudian kembali menegaskan
permohonannya kepada kaumnya itu, sedangkan isterinya mengintip tidak jauh dari
situ. Nabi Luth menawarkan kepada mereka untuk mengawini puteri-puterinya,
tetapi dengan serentak mereka menjawab: “Sesungguhnya engkau telah tahu bahwa
kami tidak mempunyai keinginan terhadap puteri-puterimu; dan sesungguhnya kamu
tentu mengetahui apa yang sebenarnya kami kehendaki.” Sampai di sini, dialog
antara Nabi Luth dan kaumnya terputus. Nabi Luth kemudian berpikir, apakah yang
akan ia lakukan jika kaumnya memecah pintu rumahnya dan masuk untuk
melampiaskan nafsu setannya kepada dua orang tamunya. Ia berdiri kebingungan, sedangkan
isterinya yang memandangn dengan pandangan khianat. Tiba-tiba tamu Nabi Luth
berkata kepadanya: “Sesungguhnya kami adalah utusan-utusan Tuhanmu; sekali-kali
mereka tidak dapat mengganggu engkau.” Kalau begitu, tamu-tamu Nabi Luth adalah
utusan-utusan Allah yang datang untuk menimpakan azab kepada penduduk Negeri
Sadom yang berbuat kerusakan itu. Mendengar semua itu, isteri Nabi Luth merasa
kuwatir, karena ia akan gagal memperoleh harta yang selalu diinginkannya itu.
Kebatilan dan pelakunya memang tidak akan pernah kekal, dan kini siksa sedang
menghampiri mereka. utusan-utusan Allah itu berkata kepada Nabi Luth: “Bukakan
pintu, dan tinggalkan kami bersama mereka!”
Maka, Nabi Luth pun membuka pintu
rumahnya. Isteri Nabi Luth merasa cemas tatkala melihat serombongan kaumnya
menyerbu masuk dengan penuh kegilaan, dan segera menuju ke arah tamu-tamu Nabi
Luth. Ketika itulah, Jibril menunjukkan kelebihannya. Ia mengembangkan kedua
sayapnya dan memukuli orang-orang yang bejat itu. akhirnya, mata mereka, tanpa
kecuali, buta seketika. Dengan berteriak kesakitan, mereka semua
menghendap-endap dan bingung, kemana mereka harus berjalan. Bertanyalah Nabi
Luth kepada Malaikat Jibril: “Apakah kaumku akan dibinasakan saat ini juga?”
Malaikat Jibril memberitahu bahwa azab akan ditimpakan kepada kaum Nabi Luth
pada waktu Subuh nanti. Mendengar itu, Nabi Luth segera berpikir, bukankah
waktu Subuh sudah dekat. Jibril memerintahkan Nabi Luth agar pergi dengan
membawa keluarganya pada akhir malam nanti. Semua keluarga Nabi Luth pada malam
itu pergi bersamanya ke luar kota, kecuali Wa’ilah. Isterinya itu bukan lagi
termasuk keluarganya yang beriman kepada risalah Allah yang dibawanya.
Sebaliknya, Isteri Nabi Luth justru telah membantu orang-orang yang berbuat
kerusakan, dan ia harus menerima akibatnya. Maka, turunlah azab atas dirinya,
bersama semua kaum Nabi Luth yang ingkar, sebagaimana yang difirmankan oleh
Allah dalam Kitab Suci Al-Quran: “Maka, tatkala datang azab Kami, Kami balikkan
(kota itu), dan Kami turunkan di atasnya hujan batu, (seperti) tanah liat
dibakar bertubi-tubi. Diberi tanda oleh Tuhanmu. Dan siksaan itu tiadalah jauh
dari orang-orang yang zalim.” Maha Benar Allah lagi Maha Agung.