Beliau adalah Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asad bin
Idris bin Abdullah bin Hayyan bin Abdullah bin Anas bin ‘Auf bin Qasith bin
Mazin bin Syaiban bin Dzuhl bin Tsa‘labah adz-Dzuhli asy-Syaibaniy. Nasab
beliau bertemu dengan nasab Nabi pada diri Nizar bin Ma‘d bin ‘Adnan. Yang
berarti bertemu nasab pula dengan nabi Ibrahim.
Ketika beliau masih dalam
kandungan, orang tua beliau pindah dari kota Marwa, tempat tinggal sang ayah,
ke kota Baghdad. Di kota itu beliau dilahirkan, tepatnya pada bulan Rabi‘ul
Awwal -menurut pendapat yang paling masyhur- tahun 164 H.
Ayah beliau, Muhammad, meninggal
dalam usia muda, 30 tahun, ketika beliau baru berumur tiga tahun. Kakek beliau,
Hanbal, berpindah ke wilayah Kharasan dan menjadi wali kota Sarkhas pada masa
pemeritahan Bani Umawiyyah, kemudian bergabung ke dalam barisan pendukung Bani
‘Abbasiyah dan karenanya ikut merasakan penyiksaan dari Bani Umawiyyah.
Disebutkan bahwa dia dahulunya adalah seorang panglima.
Masa Menuntut Ilmu
Imam Ahmad tumbuh dewasa sebagai seorang anak yatim. Ibunya, Shafiyyah binti
Maimunah binti ‘Abdul Malik asy-Syaibaniy, berperan penuh dalam mendidik dan
membesarkan beliau. Untungnya, sang ayah meninggalkan untuk mereka dua buah
rumah di kota Baghdad. Yang sebuah mereka tempati sendiri, sedangkan yang
sebuah lagi mereka sewakan dengan harga yang sangat murah. Dalam hal ini,
keadaan beliau sama dengan keadaan syaikhnya, Imam Syafi‘i, yang yatim dan
miskin, tetapi tetap mempunyai semangat yang tinggi. Keduanya juga memiliki ibu
yang mampu mengantar mereka kepada kemajuan dan kemuliaan.
Beliau mendapatkan pendidikannya yang pertama di kota Baghdad. Saat itu, kota
Bagdad telah menjadi pusat peradaban dunia Islam, yang penuh dengan manusia
yang berbeda asalnya dan beragam kebudayaannya, serta penuh dengan beragam
jenis ilmu pengetahuan. Di sana tinggal para qari’, ahli hadits, para sufi,
ahli bahasa, filosof, dan sebagainya.
Setamatnya menghafal Alquran dan
mempelajari ilmu-ilmu bahasa Arab di al-Kuttab saat berumur 14 tahun, beliau
melanjutkan pendidikannya ke ad-Diwan. Beliau terus menuntut ilmu dengan penuh
azzam yang tinggi dan tidak mudah goyah. Sang ibu banyak membimbing dan memberi
beliau dorongan semangat. Tidak lupa dia mengingatkan beliau agar tetap
memperhatikan keadaan diri sendiri, terutama dalam masalah kesehatan. Tentang
hal itu beliau pernah bercerita, “Terkadang aku ingin segera pergi pagi-pagi
sekali mengambil (periwayatan) hadits, tetapi Ibu segera mengambil pakaianku
dan berkata, ‘Bersabarlah dulu. Tunggu sampai adzan berkumandang atau setelah
orang-orang selesai shalat subuh.’”
Perhatian beliau saat itu memang
tengah tertuju kepada keinginan mengambil hadits dari para perawinya. Beliau
mengatakan bahwa orang pertama yang darinya beliau mengambil hadits adalah
al-Qadhi Abu Yusuf, murid/rekan Imam Abu Hanifah.
Imam Ahmad tertarik untuk menulis
hadits pada tahun 179 saat berumur 16 tahun. Beliau terus berada di kota
Baghdad mengambil hadits dari syaikh-syaikh hadits kota itu hingga tahun 186.
Beliau melakukan mulazamah kepada syaikhnya, Hasyim bin Basyir bin Abu Hazim
al-Wasithiy hingga syaikhnya tersebut wafat tahun 183. Disebutkan oleh putra
beliau bahwa beliau mengambil hadits dari Hasyim sekitar tiga ratus ribu hadits
lebih.
Pada tahun 186, beliau mulai melakukan perjalanan (mencari hadits) ke Bashrah
lalu ke negeri Hijaz, Yaman, dan selainnya. Tokoh yang paling menonjol yang
beliau temui dan mengambil ilmu darinya selama perjalanannya ke Hijaz dan
selama tinggal di sana adalah Imam Syafi‘i. Beliau banyak mengambil hadits dan
faedah ilmu darinya. Imam Syafi‘i sendiri amat memuliakan diri beliau dan
terkadang menjadikan beliau rujukan dalam mengenal keshahihan sebuah hadits.
Ulama lain yang menjadi sumber beliau mengambil ilmu adalah Sufyan bin
‘Uyainah, Ismail bin ‘Ulayyah, Waki‘ bin al-Jarrah, Yahya al-Qaththan, Yazid
bin Harun, dan lain-lain. Beliau berkata, “Saya tidak sempat bertemu dengan
Imam Malik, tetapi Allah menggantikannya untukku dengan Sufyan bin ‘Uyainah.
Dan saya tidak sempat pula bertemu dengan Hammad bin Zaid, tetapi Allah
menggantikannya dengan Ismail bin ‘Ulayyah.”
Demikianlah, beliau amat menekuni pencatatan hadits, dan ketekunannya itu
menyibukkannya dari hal-hal lain sampai-sampai dalam hal berumah tangga. Beliau
baru menikah setelah berumur 40 tahun. Ada orang yang berkata kepada beliau,
“Wahai Abu Abdillah, Anda telah mencapai semua ini. Anda telah menjadi imam
kaum muslimin.” Beliau menjawab, “Bersama mahbarah (tempat tinta) hingga ke
maqbarah (kubur). Aku akan tetap menuntut ilmu sampai aku masuk liang kubur.”
Dan memang senantiasa seperti itulah keadaan beliau: menekuni hadits, memberi
fatwa, dan kegiatan-kegiatan lain yang memberi manfaat kepada kaum muslimin.
Sementara itu, murid-murid beliau berkumpul di sekitarnya, mengambil darinya
(ilmu) hadits, fiqih, dan lainnya. Ada banyak ulama yang pernah mengambil ilmu
dari beliau, di antaranya kedua putra beliau, Abdullah dan Shalih, Abu Zur ‘ah,
Bukhari, Muslim, Abu Dawud, al-Atsram, dan lain-lain.
Beliau menyusun kitabnya yang
terkenal, al-Musnad, dalam jangka waktu sekitar enam puluh tahun dan itu sudah
dimulainya sejak tahun tahun 180 saat pertama kali beliau mencari hadits.
Beliau juga menyusun kitab tentang tafsir, tentang an-nasikh dan al-mansukh, tentang
tarikh, tentang yang muqaddam dan muakhkhar dalam Alquran, tentang
jawaban-jawaban dalam Alquran. Beliau juga menyusun kitab al-manasik ash-shagir
dan al-kabir, kitab az-Zuhud, kitab ar-radd ‘ala al-Jahmiyah wa
az-zindiqah(Bantahan kepada Jahmiyah dan Zindiqah), kitab as-Shalah, kitab
as-Sunnah, kitab al-Wara ‘ wa al-Iman, kitab al-‘Ilal wa ar-Rijal, kitab
al-Asyribah, satu juz tentang Ushul as-Sittah, Fadha’il ash-Shahabah.
Pujian dan Penghormatan Ulama Lain Kepadanya
Imam Syafi‘i pernah mengusulkan kepada Khalifah Harun ar-Rasyid, pada hari-hari
akhir hidup khalifah tersebut, agar mengangkat Imam Ahmad menjadi qadhi di
Yaman, tetapi Imam Ahmad menolaknya dan berkata kepada Imam Syafi‘i, “Saya
datang kepada Anda untuk mengambil ilmu dari Anda, tetapi Anda malah menyuruh
saya menjadi qadhi untuk mereka.” Setelah itu pada tahun 195, Imam Syafi‘i
mengusulkan hal yang sama kepada Khalifah al-Amin, tetapi lagi-lagi Imam Ahmad
menolaknya.
Suatu hari, Imam Syafi‘i masuk
menemui Imam Ahmad dan berkata, “Engkau lebih tahu tentang hadits dan
perawi-perawinya. Jika ada hadits shahih (yang engkau tahu), maka beri tahulah
aku. Insya Allah, jika (perawinya) dari Kufah atau Syam, aku akan pergi
mendatanginya jika memang shahih.” Ini menunjukkan kesempurnaan agama dan akal
Imam Syafi‘i karena mau mengembalikan ilmu kepada ahlinya.
Imam Syafi‘i juga berkata, “Aku
keluar (meninggalkan) Bagdad, sementara itu tidak aku tinggalkan di kota
tersebut orang yang lebih wara’, lebih faqih, dan lebih bertakwa daripada Ahmad
bin Hanbal.”
Abdul Wahhab al-Warraq berkata,
“Aku tidak pernah melihat orang yang seperti Ahmad bin Hanbal”. Orang-orang
bertanya kepadanya, “Dalam hal apakah dari ilmu dan keutamaannya yang engkau
pandang dia melebihi yang lain?” Al-Warraq menjawab, “Dia seorang yang jika
ditanya tentang 60.000 masalah, dia akan menjawabnya dengan berkata, ‘Telah
dikabarkan kepada kami,’ atau, “Telah disampaikan hadits kepada kami’.”Ahmad
bin Syaiban berkata, “Aku tidak pernah melihat Yazid bin Harun memberi
penghormatan kepada seseorang yang lebih besar daripada kepada Ahmad bin
Hanbal. Dia akan mendudukkan beliau di sisinya jika menyampaikan hadits kepada
kami. Dia sangat menghormati beliau, tidak mau berkelakar dengannya”.
Demikianlah, padahal seperti diketahui bahwa Harun bin Yazid adalah salah
seorang guru beliau dan terkenal sebagai salah seorang imam huffazh.
Keteguhan di Masa Penuh Cobaan
Telah menjadi keniscayaan bahwa kehidupan seorang mukmin tidak akan lepas dari
ujian dan cobaan, terlebih lagi seorang alim yang berjalan di atas jejak para
nabi dan rasul. Dan Imam Ahmad termasuk di antaranya. Beliau mendapatkan cobaan
dari tiga orang khalifah Bani Abbasiyah selama rentang waktu 16 tahun.
Pada masa pemerintahan Bani
Abbasiyah, dengan jelas tampak kecondongan khalifah yang berkuasa menjadikan
unsur-unsur asing (non-Arab) sebagai kekuatan penunjang kekuasaan mereka.
Khalifah al-Makmun menjadikan orang-orang Persia sebagai kekuatan pendukungnya,
sedangkan al-Mu‘tashim memilih orang-orang Turki. Akibatnya, justru sedikit
demi sedikit kelemahan menggerogoti kekuasaan mereka. Pada masa itu dimulai
penerjemahan ke dalam bahasa Arab buku-buku falsafah dari Yunani, Rumania,
Persia, dan India dengan sokongan dana dari penguasa. Akibatnya, dengan cepat
berbagai bentuk bid‘ah merasuk menyebar ke dalam akidah dan ibadah kaum
muslimin. Berbagai macam kelompok yang sesat menyebar di tengah-tengah mereka,
seperti Qadhariyah, Jahmyah, Asy‘ariyah, Rafidhah, Mu‘tashilah, dan lain-lain.
Kelompok Mu‘tashilah, secara khusus, mendapat sokongan dari penguasa, terutama
dari Khalifah al-Makmun. Mereka, di bawah pimpinan Ibnu Abi Duad, mampu
mempengaruhi al-Makmun untuk membenarkan dan menyebarkan pendapat-pendapat
mereka, di antaranya pendapat yang mengingkari sifat-sifat Allah, termasuk
sifat kalam (berbicara). Berangkat dari pengingkaran itulah, pada tahun 212,
Khalifah al-Makmun kemudian memaksa kaum muslimin, khususnya ulama mereka,
untuk meyakini kemakhlukan Alquran.
Sebenarnya Harun ar-Rasyid,
khalifah sebelum al-Makmun, telah menindak tegas pendapat tentang kemakhlukan
Alquran. Selama hidupnya, tidak ada seorang pun yang berani menyatakan pendapat
itu sebagaimana dikisahkan oleh Muhammad bin Nuh, “Aku pernah mendengar Harun
ar-Rasyid berkata, ‘Telah sampai berita kepadaku bahwa Bisyr al-Muraisiy
mengatakan bahwa Alquran itu makhluk. Merupakan kewajibanku, jika Allah
menguasakan orang itu kepadaku, niscaya akan aku hukum bunuh dia dengan cara
yang tidak pernah dilakukan oleh seorang pun’”. Tatkala Khalifah ar-Rasyid
wafat dan kekuasaan beralih ke tangan al-Amin, kelompok Mu‘tazilah berusaha
menggiring al-Amin ke dalam kelompok mereka, tetapi al-Amin menolaknya. Baru
kemudian ketika kekhalifahan berpindah ke tangan al-Makmun, mereka mampu
melakukannya.
Untuk memaksa kaum muslimin menerima pendapat kemakhlukan Alquran, al-Makmun
sampai mengadakan ujian kepada mereka. Selama masa pengujian tersebut, tidak
terhitung orang yang telah dipenjara, disiksa, dan bahkan dibunuhnya. Ujian itu
sendiri telah menyibukkan pemerintah dan warganya baik yang umum maupun yang
khusus. Ia telah menjadi bahan pembicaraan mereka, baik di kota-kota maupun di
desa-desa di negeri Irak dan selainnya. Telah terjadi perdebatan yang sengit di
kalangan ulama tentang hal itu. Tidak terhitung dari mereka yang menolak
pendapat kemakhlukan Alquran, termasuk di antaranya Imam Ahmad. Beliau tetap
konsisten memegang pendapat yang hak, bahwa Alquran itu kalamullah, bukan
makhluk.
Al-Makmun bahkan sempat
memerintahkan bawahannya agar membawa Imam Ahmad dan Muhammad bin Nuh ke
hadapannya di kota Thursus. Kedua ulama itu pun akhirnya digiring ke Thursus
dalam keadaan terbelenggu. Muhammad bin Nuh meninggal dalam perjalanan sebelum
sampai ke Thursus, sedangkan Imam Ahmad dibawa kembali ke Bagdad dan dipenjara
di sana karena telah sampai kabar tentang kematian al-Makmun (tahun 218).
Disebutkan bahwa Imam Ahmad tetap mendoakan al-Makmun.
Sepeninggal al-Makmun,
kekhalifahan berpindah ke tangan putranya, al-Mu‘tashim. Dia telah mendapat
wasiat dari al-Makmun agar meneruskan pendapat kemakhlukan Alquran dan menguji
orang-orang dalam hal tersebut; dan dia pun melaksanakannya. Imam Ahmad
dikeluarkannya dari penjara lalu dipertemukan dengan Ibnu Abi Duad dan
konco-konconya. Mereka mendebat beliau tentang kemakhlukan Alquran, tetapi
beliau mampu membantahnya dengan bantahan yang tidak dapat mereka bantah.
Akhirnya beliau dicambuk sampai tidak sadarkan diri lalu dimasukkan kembali ke
dalam penjara dan mendekam di sana selama sekitar 28 bulan –atau 30-an bulan
menurut yang lain-. Selama itu beliau shalat dan tidur dalam keadaan kaki
terbelenggu.
Selama itu pula, setiap harinya
al-Mu‘tashim mengutus orang untuk mendebat beliau, tetapi jawaban beliau tetap
sama, tidak berubah. Akibatnya, bertambah kemarahan al-Mu‘tashim kepada beliau.
Dia mengancam dan memaki-maki beliau, dan menyuruh bawahannya mencambuk lebih
keras dan menambah belenggu di kaki beliau. Semua itu, diterima Imam Ahmad
dengan penuh kesabaran dan keteguhan bak gunung yang menjulang dengan kokohnya.
Sakit dan Wafatnya
Pada akhirnya, beliau dibebaskan dari penjara. Beliau dikembalikan ke rumah
dalam keadaan tidak mampu berjalan. Setelah luka-lukanya sembuh dan badannya
telah kuat, beliau kembali menyampaikan pelajaran-pelajarannya di masjid sampai
al-Mu‘tashim wafat.
Selanjutnya, al-Watsiq diangkat
menjadi khalifah. Tidak berbeda dengan ayahnya, al-Mu‘tashim, al-Watsiq pun
melanjutkan ujian yang dilakukan ayah dan kakeknya. dia pun masih menjalin
kedekatan dengan Ibnu Abi Duad dan konco-konconya. Akibatnya, penduduk Bagdad
merasakan cobaan yang kian keras. Al-Watsiq melarang Imam Ahmad keluar
berkumpul bersama orang-orang. Akhirnya, Imam Ahmad bersembunyi di rumahnya,
tidak keluar darinya bahkan untuk keluar mengajar atau menghadiri shalat
jamaah. Dan itu dijalaninya selama kurang lebih lima tahun, yaitu sampai
al-Watsiq meninggal tahun 232.
Sesudah al-Watsiq wafat,
al-Mutawakkil naik menggantikannya. Selama dua tahun masa pemerintahannya,
ujian tentang kemakhlukan Alquran masih dilangsungkan. Kemudian pada tahun 234,
dia menghentikan ujian tersebut. Dia mengumumkan ke seluruh wilayah kerajaannya
larangan atas pendapat tentang kemakhlukan Alquran dan ancaman hukuman mati
bagi yang melibatkan diri dalam hal itu. Dia juga memerintahkan kepada para
ahli hadits untuk menyampaikan hadits-hadits tentang sifat-sifat Allah. Maka
demikianlah, orang-orang pun bergembira pun dengan adanya pengumuman itu.
Mereka memuji-muji khalifah atas keputusannya itu dan melupakan
kejelekan-kejelekannya. Di mana-mana terdengar doa untuknya dan namanya
disebut-sebut bersama nama Abu Bakar, Umar bin al-Khaththab, dan Umar bin Abdul
Aziz.
Menjelang wafatnya, beliau jatuh
sakit selama sembilan hari. Mendengar sakitnya, orang-orang pun berdatangan
ingin menjenguknya. Mereka berdesak-desakan di depan pintu rumahnya,
sampai-sampai sultan menempatkan orang untuk berjaga di depan pintu. Akhirnya,
pada permulaan hari Jumat tanggal 12 Rabi‘ul Awwal tahun 241, beliau menghadap
kepada rabbnya menjemput ajal yang telah dientukan kepadanya. Kaum muslimin bersedih
dengan kepergian beliau. Tak sedikit mereka yang turut mengantar jenazah beliau
sampai beratusan ribu orang. Ada yang mengatakan 700 ribu orang, ada pula yang
mengatakan 800 ribu orang, bahkan ada yang mengatakan sampai satu juta lebih
orang yang menghadirinya. Semuanya menunjukkan bahwa sangat banyaknya mereka
yang hadir pada saat itu demi menunjukkan penghormatan dan kecintaan mereka
kepada beliau. Beliau pernah berkata ketika masih sehat, “Katakan kepada ahlu
bid‘ah bahwa perbedaan antara kami dan kalian adalah (tampak pada) hari
kematian kami”.
Demikianlah gambaran ringkas
ujian yang dilalui oleh Imam Ahmad. Terlihat bagaimana sikap agung beliau yang
tidak akan diambil kecuali oleh orang-orang yang penuh keteguhan lagi ikhlas.
Beliau bersikap seperti itu justru ketika sebagian ulama lain berpaling dari
kebenaran. Dan dengan keteguhan di atas kebenaran yang Allah berikan kepadanya
itu, maka madzhab Ahlussunnah pun dinisbatkan kepada dirinya karena beliau
sabar dan teguh dalam membelanya. Ali bin al-Madiniy berkata menggambarkan
keteguhan Imam Ahmad, “Allah telah mengokohkan agama ini lewat dua orang
laki-laki, tidak ada yang ketiganya. Yaitu, Abu Bakar as-Shiddiq pada Yaumur
Riddah (saat orang-orang banyak yang murtad pada awal-awal pemerintahannya), dan
Ahmad bin Hanbal pada Yaumul Mihnah”.