Isteri Nabi Nuh Menempuh Jalan Kesesatan , part 2


Betapa terperanjatnya hati isteri Nabi Nuh tatkala mendengar pengakuan terus terang anak-anaknya akan risalah yang diserukan Nabi Nuh. Ia segera bangkit dari duduknya dan menghampiri Kan’an, sambil berkata kepada suaminya. “Telah rusak akal anak-anakmu dengan seruan itu. Tuhan kami akan mengutuk dan menurunkan siksa kepadamu!”

Ketika wajah anak-anak mereka menampakkan keheranan Nabi Nuh menjawab:
“Nanti kamu akan mengetahui bahwa berhala-hala itu tidak berkuasa memberikan manfaat dan tidak kuasa pula menolak kemudaratan atas dirinya. Bagaimana ia akan berkuasa berbuat sesuatu kepada yang lain?”

Isteri Nabi Nuh tidak berhenti dalam usaha menghalang-halangi dakwah kebajikan yang diserukan oleh Nabi Nuh kepada kaumnya. Setiap tetangga yang hendak beriman kepada ajaran Nabi Nuh, dan meminta pendapat isteri Nabi Nuh dalam hal itu, isteri Nabi Nuh selalu menjelaskan orang-orang itu agar tidak mengikuti seruan suaminya.
Bahkan ia berkata kepada mereka:
    “Sekiranya seruan Nuh itu baik, niscaya aku dan anakku, Kan’an mengikutinya.”

Dengan Jawaban isteri Nabi Nuh itu, pulanglah para tetangga itu dengan hati yang yakin, dan hilanglah keraguan terhadap tuhan-tuhan yang biasa mereka sembah.
Beberapa tahun kemudian, isteri Nabi Nuh bukannya semakin condong kepada ajaran suaminya. Rasa pertentangannya dengan Nabi Nuh bahkan semakin besar dan kuat. Bersama berjalannya waktu, isteri Nabi Nuh semakin jauh dari seruan kebenaran yang disampaikan oleh suaminya.

Ia berkata kepada Nabi Nuh:
“Tidak ada yang mengikutimu kecuali hanya beberapa orang miskin. Sekiranya bukan karena kemiskinan yang mereka derita, niscaya mereka tidak akan mengikutimu. Bukankah hal ini cukup menjadi bukti bagimu bahwa seruanmu itu batil? Semua orang memperolok-olokkanmu. Maka sebaiknya kamu hentikan seruanmu itu kepada manusia….”

Meskipun demikian, Nabi Nuh tetap berjalan di atas kebenaran Ilahi yang menuntut kepada kebajikan. Ia memikul semua penderitaan dan kejahatan orang yang merintanginya untuk menyampaikan risalah Tuhannya, meskipun bertahun-tahun jumlah kaum mukminin tidak lebih dari seratus orang.

Nabi Nuh selalu berdoa kepada Allah:
    “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah menyeru kaumku malam dan siang. Maka seruanku itu hanya membuat mereka lari dan semakin menjauh. Dan sungguh, setiap kali aku menyeru mereka agar engkau mengampuni mereka, mereka memasukkan anak jari ke dalam telinganya dan menutup dirinya dengan pakaiannya dan mereka tetap ingkar dan menyombongkan diri dengan keangkuhan. Kemudian aku seru mereka dengan terang-terangan. Dan berbicara kepada mereka di tempat umum, dan juga dengan diam-diam. Maka, aku katakan kepada mereka:
    “Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya, Dia Maha Pengampun. Niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan memperbanyak harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun, dan mengadakan (pula di dalamnya) sungai-sungai untukmu. Mengapa kamu tidak percaya akan kebesaran Allah? Padahal sesungguhnya……Dia telah menciptakan kamu dalam beberapa tingkat kejadian?

Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah menciptakan tujuh langit bertingkat-tingkat? Dan Allah menciptakan padanya bulan sebagai cahaya, dan menjadikan matahari sebagai pelita? Dan Allah menumbuhkan kamu dari tanah dengan sebaik-baiknya, kemudian dia mengembalikan kamu ke dalam tanah dan mengeluarkan kamu (darinya pada hari (kiamat) dengan sebenar-benarnya?
“Dan Allah menjadikan bumi untukmu sebagai hamparan supaya kamu melalui jalan-jalan yang luas di bumi itu?”

Nuh berkata:
“Ya, Tuhanku, sesungguhnya mereka telah mendurhakaiku,dan telah mengikuti orang-orang yang harta dan anak-anaknya tidak menambah kepadanya melainkan kerugian belaka. Dan melakukan tipu daya yang amat besar.”

Dan mereka berkata:
“Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) Wadd dan jangan pula Suwa, Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr.”
“Dan sesungguhnya mereka (sembahan-sembahan berhala) telah menyesatkan orang banyak. Maka, janganlah Engkau tambahkan bagi orang-orang yang zalim itu selain kesesatan.”
(Lihat surah Nuh ayat 5-24)

Allah memerintahkan Nabi Nuh membuat sebuah bahtera. Pada suatu hari, isteri Nabi Nuh melihat suaminya mendatangkan kayu-kayu dan menyuruh para pengikutnya agar meletakkan
kayu-kayu itu di tengah-tengah kota, padahal kota itu jauh dari laut dan sungai.   Maka, bertanyalah sang isteri kepada suaminya. “Apakah yang akan engkau perbuat dengan semua kayu ini, Nuh?”
“Aku akan membuat sebuah bahtera,” jawab Nabi Nuh.
“Mengapa engkau membuat bahtera, sedangkan di sini tidak ada lautan atau sungai yang dapat melayarkannya?” Tanya isteri Nabi Nuh.

Nabi Nuh menjawab: “Bahtera ini akan belayar ketika datang perintah Allah.”
Kembali isteri Nabi Nuh menyanggahnya: “Bagaimana orang yang berakal akan percaya dengan ucapanmu itu?”   “Nanti engkau akan melihat bahwa hal itu akan terjadi,” kata Nabi Nuh.

Setelah beberapa langkah isteri Nabi Nuh meninggalkan tempat itu, ia masih sempat bertanya sekali lagi: “Apakah bahtera ini akan berlayar di atas pasir?”

Nabi Nuh menjawab dengan penuh keyakinan: “Tidak! Tetapi banjir akan menenggelamkan bumi dan orang-orang yang menentang kami, dan kaum mukminin akan selamat di atas bahtera…”

Maka, pergilah isteri Nabi Nuh untuk menyelesaikan urusannya. Dia tidak percaya sedikit pun pada apa yang dikatakan suaminya itu.Walaupun begitu, ia sebenarnya merasa heran kepada berita yang disampaikan oleh Nabi Nuh.

Ia bertanya-tanya kepada dirinya sendiri. “Nanti akan engkau saksikan, apakah Nabi Nuh akan membiarkanmu berlayar bersamanya di atas bahtera!”  Belum selesai ia memikirkan hal yang menghantui pikirannya itu,terdengar suara Kan’an memanggilnya. “Apakah bahtera itu, ibu?”

Maka, ibunya mengisahkan peristiwa percakapan antara dirinya dan Nuh, dan mengabarkan pula kepada Kan’an bahwa ayahnya akan membuat sebuah bahtera di tengah kota. Kan’an nyaris tidak mendengar semua cerita ibunya, karena ia menjadi tertawa terbahak-bahak tiada henti.

Kemudian ia berkata: “Kalau begitu, benar apa yang dikatakan orang tentang ayahku!”
Isteri Nabi Nuh memandang anaknya sambil menyesali dirinya. “Aduhai malangnya nasib yang membuatku menjadi isteri lelaki itu selama bertahun-tahun. Berapa lama lagi aku harus menanggung sengsara dan celaka seperti ini?”

Kemudian ia membawa anaknya pergi ke Makbad Besar.Di Makbad Besar, sekelompok orang sedang berbantah bantahan tentang Nabi Nuh. Melihat isteri Nabi Nuh dan Kan’an datang mereka segera berkelompok di sekelilingnya dan berkata kepadanya. “Benarkah berita yang sampai kepada kami bahwa Nuh akan membuat sebuah bahtera?”   “Hal itu aku dengar dari mulut Nuh sendiri,” jawab isteri Nabi Nuh.

Bertambahlah kemarahan orang orang itu. Jika hal itu dimaksud sebagai olok olokan Nuh kepada mereka, maka mereka akan mengusir Nabi Nuh dari negeri mereka. Kaum Nabi Nuh tersebut kemudian pergi ke tengah kota. Di sana Nabi Nuh sedang mempersiapkan kayu kayu untuk pembuatan bahtera. Di sekelilingnya ada sekelompok orang-orang yang beriman kepadanya yang membantunya menyediakan kayu kayu itu.

Sementara itu, kaum Nabi Nuh mulai mengolok oloknya. Salah seorang dari mereka berkata. “Baiklah, Nuh! Nyata sekali bahwa kamu akan datang dengan membawa bahtera kepada kami di sini, sehingga kami dapat naik bahtera yang kamu buat di atas padang pasir yang tandus ini!”

Suara yang lain terdengar: “Baiklah, Nuh! Apakah kamu akan menyuruh kaum mukminin untuk datang kepadamu dengan membawa bekas-bekas yang penuh air untuk dituangkan ke bawah bahtera ini sehingga engkau dapat membuat sebuah kolam sehingga bahteramu bisa belayar?”

Yang lain lagi berseru. ” Hal itu tentu saja akan memakan waktu beberapa ratus tahun, tahukah kamu, Nuh?”   Kemudian di antara mereka ada yang tertawa sambil mengejek Nabi Nuh. ”Dan semua air akan diserap oleh pasir…”
Nabi Nuh tidak memberikan jawaban terhadap ejekan-ejekan dan cemo'ohan cemo'ohan mereka itu melainkan hanya berberkata dengan beberapa kalimat pendek: “Jika kamu memperolok kami, kami pun akan memperolok kamu nantinya, sebagaimana kamu memperolok kami! Tapi kamu akan sadar, kepada siapa akan datangnya azab yang meliputi dirinya dengan kehinaan. Dan kepada siapa akan turunnya azab yang tiada akhirnya.”  (Surah Hud ayat 38-39)

Beberapa tahun kemudian. Nabi Nuh telah menyelesaikan bahtera ciptaannya. Sementara itu, ejekan yang datang dari kaum di sekelilingnya tidak ada henti hentinya, siang dan malam. Isteri Nabi Nuh dalam hal itu selalu memberitahu kaum musyrikin tentang kesedihan suaminya selama itu. Mendengar berita itu, makin bertambahlah kegembiraan hati mereka.

Pada suatu hari, isteri Nabi Nuh terbangun dari tidurnya karena sesuatu yang menggelisahkan hatinya. Di rumahnya, Nabi Nuh mengumpulkan setiap jenis hewan dan burung, masing-masing sepasang. Melihat perbuatan Nabi Nuh itu, isterinya bertanya. “Nuh, apa yang kamu lakukan? Dan ke mana kamu akan pergi dengan semua hewan dan burung itu? Apakah kaum mukminin yang bersamamu akan makan hewan-hewan dan burung-burung itu, dan engkau tinggalkan kami di sini tanpa apa-apa?”

“Tuhanku telah memerintahkan kepadaku untuk membawa hewan-hewan dan burung-burung itu ke dalam bahtera!” Jawab Nabi Nuh.
Dengan agak bingung, isteri Nabi Nuh bertanya: “Bagaimana Tuhanmu memerintahkan seperti ini?”

Nabi Nuh menjawab: “Kelak akan kubawa setiap pasang binatang dan semua kaum mukminin di dalam bahtera ini, dengan kebenaran yang diperintahkan oleh Tuhanku kepadaku.”

Isteri Nabi Nuh tidak mau diam. Ia bahkan berusaha membantah sambil berkata: “Apa yang akan kamu lakukan dalam bahtera itu? Apakah kalian akan meninggalkan rumah dan hidup bersama hewan-hewan dan burung-burung ini?”

Nabi Nuh menjawab: “nanti air akan menenggelamkan segala sesuatu, dan tidak ada yang selamat kecuali siapa yang naik ke atas bahtera ini, kemudian memulai kehidupan baru yang muncul dengan fajar keimanan!”

Kali ini isteri Nabi Nuh benar-benar merasa takut dan ngeri dengan ucapan suaminya itu. Namun, karena keingkarannya telah keras membatu, ia tetap berusaha menekan rasa takutnya itu. Segera ia pergi untuk memberitahu kaumnya tentang yang diperbuat suaminya. Maka, bertambah keras ejekan mereka kepada Nabi Nuh dan apa yang diperbuatnya.

Ketika datang waktu yang dijanjikan oleh Allah, terperanjatlah kaum Nabi Nuh melihat datangnya banjir yang besar seketika. Pintu-pintu langit terbuka dan mencurahkan air hujan ke bumi, sedangkan Nabi Nuh bersama orang-orang yang beriman belayar di atas bahtera tanpa isterinya dan Kan’an puteranya.

Mereka berdua menolak ketika Nabi Nuh memerintahkannya agar ikut bersama ke atas bahtera. Bahkan mereka berkata: “Aku akan mencari perlindungan ke gunung yang dapat menyelamatkan daku dari banjir!” (Hud ayat 43)

Banjir terlalu besar, hingga puncak gunung pun tenggelam. Maka tenggelamlah sang ibu bersama puteranya dalam gelombang banjir yang dahsyat. Kisah mereka di dalam Al-Quran senantiasa menjadi tanda dan peringatan bagi seluruh kaum mukminin bahwa petunjuk itu kadang-kadang terasa lebih jauh meskipun bagi orang yang paling dekat dengan pemberi petunjuk itu sendiri.