Betapa terperanjatnya hati isteri Nabi Nuh tatkala mendengar pengakuan terus terang anak-anaknya akan risalah yang diserukan Nabi Nuh. Ia segera bangkit dari duduknya dan menghampiri Kan’an, sambil berkata kepada suaminya. “Telah rusak akal anak-anakmu dengan seruan itu. Tuhan kami akan mengutuk dan menurunkan siksa kepadamu!”
Ketika wajah anak-anak mereka
menampakkan keheranan Nabi Nuh menjawab:
“Nanti kamu akan mengetahui bahwa
berhala-hala itu tidak berkuasa memberikan manfaat dan tidak kuasa pula menolak
kemudaratan atas dirinya. Bagaimana ia akan berkuasa berbuat sesuatu kepada
yang lain?”
Isteri Nabi Nuh tidak berhenti
dalam usaha menghalang-halangi dakwah kebajikan yang diserukan oleh Nabi Nuh
kepada kaumnya. Setiap tetangga yang hendak beriman kepada ajaran Nabi Nuh, dan
meminta pendapat isteri Nabi Nuh dalam hal itu, isteri Nabi Nuh selalu
menjelaskan orang-orang itu agar tidak mengikuti seruan suaminya.
Bahkan ia berkata kepada mereka:
“Sekiranya seruan
Nuh itu baik, niscaya aku dan anakku, Kan’an mengikutinya.”
Dengan Jawaban isteri Nabi Nuh
itu, pulanglah para tetangga itu dengan hati yang yakin, dan hilanglah keraguan
terhadap tuhan-tuhan yang biasa mereka sembah.
Beberapa tahun kemudian, isteri
Nabi Nuh bukannya semakin condong kepada ajaran suaminya. Rasa pertentangannya
dengan Nabi Nuh bahkan semakin besar dan kuat. Bersama berjalannya waktu,
isteri Nabi Nuh semakin jauh dari seruan kebenaran yang disampaikan oleh
suaminya.
Ia berkata kepada Nabi Nuh:
“Tidak ada yang mengikutimu
kecuali hanya beberapa orang miskin. Sekiranya bukan karena kemiskinan yang
mereka derita, niscaya mereka tidak akan mengikutimu. Bukankah hal ini cukup
menjadi bukti bagimu bahwa seruanmu itu batil? Semua orang
memperolok-olokkanmu. Maka sebaiknya kamu hentikan seruanmu itu kepada manusia….”
Meskipun demikian, Nabi Nuh tetap
berjalan di atas kebenaran Ilahi yang menuntut kepada kebajikan. Ia memikul
semua penderitaan dan kejahatan orang yang merintanginya untuk menyampaikan
risalah Tuhannya, meskipun bertahun-tahun jumlah kaum mukminin tidak lebih dari
seratus orang.
Nabi Nuh selalu berdoa kepada
Allah:
“Ya Tuhanku,
sesungguhnya aku telah menyeru kaumku malam dan siang. Maka seruanku itu hanya
membuat mereka lari dan semakin menjauh. Dan sungguh, setiap kali aku menyeru
mereka agar engkau mengampuni mereka, mereka memasukkan anak jari ke dalam
telinganya dan menutup dirinya dengan pakaiannya dan mereka tetap ingkar dan
menyombongkan diri dengan keangkuhan. Kemudian aku seru mereka dengan
terang-terangan. Dan berbicara kepada mereka di tempat umum, dan juga dengan
diam-diam. Maka, aku katakan kepada mereka:
“Mohonlah ampun
kepada Tuhanmu, sesungguhnya, Dia Maha Pengampun. Niscaya Dia akan mengirimkan
hujan kepadamu dengan lebat, dan memperbanyak harta dan anak-anakmu, dan mengadakan
untukmu kebun-kebun, dan mengadakan (pula di dalamnya) sungai-sungai untukmu.
Mengapa kamu tidak percaya akan kebesaran Allah? Padahal sesungguhnya……Dia
telah menciptakan kamu dalam beberapa tingkat kejadian?
Tidakkah kamu perhatikan
bagaimana Allah telah menciptakan tujuh langit bertingkat-tingkat? Dan Allah
menciptakan padanya bulan sebagai cahaya, dan menjadikan matahari sebagai
pelita? Dan Allah menumbuhkan kamu dari tanah dengan sebaik-baiknya, kemudian
dia mengembalikan kamu ke dalam tanah dan mengeluarkan kamu (darinya pada hari
(kiamat) dengan sebenar-benarnya?
“Dan Allah menjadikan bumi
untukmu sebagai hamparan supaya kamu melalui jalan-jalan yang luas di bumi
itu?”
Nuh berkata:
“Ya, Tuhanku, sesungguhnya mereka
telah mendurhakaiku,dan telah mengikuti orang-orang yang harta dan anak-anaknya
tidak menambah kepadanya melainkan kerugian belaka. Dan melakukan tipu daya
yang amat besar.”
Dan mereka berkata:
“Jangan sekali-kali kamu
meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu
meninggalkan (penyembahan) Wadd dan jangan pula Suwa, Yaghuts, Ya’uq, dan
Nasr.”
“Dan sesungguhnya mereka
(sembahan-sembahan berhala) telah menyesatkan orang banyak. Maka, janganlah
Engkau tambahkan bagi orang-orang yang zalim itu selain kesesatan.”
(Lihat surah Nuh ayat 5-24)
Allah memerintahkan Nabi Nuh
membuat sebuah bahtera. Pada suatu hari, isteri Nabi Nuh melihat suaminya
mendatangkan kayu-kayu dan menyuruh para pengikutnya agar meletakkan
kayu-kayu itu di tengah-tengah
kota, padahal kota itu jauh dari laut dan sungai. Maka, bertanyalah sang
isteri kepada suaminya. “Apakah yang akan engkau perbuat dengan semua kayu ini,
Nuh?”
“Aku akan membuat sebuah
bahtera,” jawab Nabi Nuh.
“Mengapa engkau membuat bahtera,
sedangkan di sini tidak ada lautan atau sungai yang dapat melayarkannya?” Tanya
isteri Nabi Nuh.
Nabi Nuh menjawab: “Bahtera ini
akan belayar ketika datang perintah Allah.”
Kembali isteri Nabi Nuh
menyanggahnya: “Bagaimana orang yang berakal akan percaya dengan ucapanmu itu?”
“Nanti engkau akan melihat bahwa hal itu akan terjadi,” kata Nabi Nuh.
Setelah beberapa langkah isteri
Nabi Nuh meninggalkan tempat itu, ia masih sempat bertanya sekali lagi: “Apakah
bahtera ini akan berlayar di atas pasir?”
Nabi Nuh menjawab dengan penuh
keyakinan: “Tidak! Tetapi banjir akan menenggelamkan bumi dan orang-orang yang
menentang kami, dan kaum mukminin akan selamat di atas bahtera…”
Maka, pergilah isteri Nabi Nuh
untuk menyelesaikan urusannya. Dia tidak percaya sedikit pun pada apa yang
dikatakan suaminya itu.Walaupun begitu, ia sebenarnya merasa heran kepada
berita yang disampaikan oleh Nabi Nuh.
Ia bertanya-tanya kepada dirinya
sendiri. “Nanti akan engkau saksikan, apakah Nabi Nuh akan membiarkanmu
berlayar bersamanya di atas bahtera!” Belum
selesai ia memikirkan hal yang menghantui pikirannya itu,terdengar suara Kan’an
memanggilnya. “Apakah bahtera itu, ibu?”
Maka, ibunya mengisahkan
peristiwa percakapan antara dirinya dan Nuh, dan mengabarkan pula kepada Kan’an
bahwa ayahnya akan membuat sebuah bahtera di tengah kota. Kan’an nyaris tidak
mendengar semua cerita ibunya, karena ia menjadi tertawa terbahak-bahak tiada
henti.
Kemudian ia berkata: “Kalau
begitu, benar apa yang dikatakan orang tentang ayahku!”
Isteri Nabi Nuh memandang anaknya
sambil menyesali dirinya. “Aduhai malangnya nasib yang membuatku menjadi isteri
lelaki itu selama bertahun-tahun. Berapa lama lagi aku harus menanggung
sengsara dan celaka seperti ini?”
Kemudian ia membawa anaknya pergi
ke Makbad Besar.Di Makbad Besar, sekelompok orang sedang berbantah bantahan
tentang Nabi Nuh. Melihat isteri Nabi Nuh dan Kan’an datang mereka segera
berkelompok di sekelilingnya dan berkata kepadanya. “Benarkah berita yang
sampai kepada kami bahwa Nuh akan membuat sebuah bahtera?” “Hal itu aku dengar dari mulut Nuh
sendiri,” jawab isteri Nabi Nuh.
Bertambahlah kemarahan orang
orang itu. Jika hal itu dimaksud sebagai olok olokan Nuh kepada mereka, maka
mereka akan mengusir Nabi Nuh dari negeri mereka. Kaum Nabi Nuh tersebut
kemudian pergi ke tengah kota. Di sana Nabi Nuh sedang mempersiapkan kayu kayu untuk
pembuatan bahtera. Di sekelilingnya ada sekelompok orang-orang yang beriman
kepadanya yang membantunya menyediakan kayu kayu itu.
Sementara itu, kaum Nabi Nuh
mulai mengolok oloknya. Salah seorang dari mereka berkata. “Baiklah, Nuh! Nyata
sekali bahwa kamu akan datang dengan membawa bahtera kepada kami di sini,
sehingga kami dapat naik bahtera yang kamu buat di atas padang pasir yang
tandus ini!”
Suara yang lain terdengar:
“Baiklah, Nuh! Apakah kamu akan menyuruh kaum mukminin untuk datang kepadamu dengan
membawa bekas-bekas yang penuh air untuk dituangkan ke bawah bahtera ini
sehingga engkau dapat membuat sebuah kolam sehingga bahteramu bisa belayar?”
Yang lain lagi berseru. ” Hal itu
tentu saja akan memakan waktu beberapa ratus tahun, tahukah kamu, Nuh?” Kemudian di antara mereka ada yang
tertawa sambil mengejek Nabi Nuh. ”Dan semua air akan diserap oleh pasir…”
Nabi Nuh tidak memberikan jawaban
terhadap ejekan-ejekan dan cemo'ohan cemo'ohan mereka itu melainkan hanya
berberkata dengan beberapa kalimat pendek: “Jika kamu memperolok kami, kami pun
akan memperolok kamu nantinya, sebagaimana kamu memperolok kami! Tapi kamu akan
sadar, kepada siapa akan datangnya azab yang meliputi dirinya dengan kehinaan.
Dan kepada siapa akan turunnya azab yang tiada akhirnya.” (Surah Hud ayat 38-39)
Beberapa tahun kemudian. Nabi Nuh
telah menyelesaikan bahtera ciptaannya. Sementara itu, ejekan yang datang dari
kaum di sekelilingnya tidak ada henti hentinya, siang dan malam. Isteri Nabi
Nuh dalam hal itu selalu memberitahu kaum musyrikin tentang kesedihan suaminya
selama itu. Mendengar berita itu, makin bertambahlah kegembiraan hati mereka.
Pada suatu hari, isteri Nabi Nuh
terbangun dari tidurnya karena sesuatu yang menggelisahkan hatinya. Di
rumahnya, Nabi Nuh mengumpulkan setiap jenis hewan dan burung, masing-masing
sepasang. Melihat perbuatan Nabi Nuh itu, isterinya bertanya. “Nuh, apa yang
kamu lakukan? Dan ke mana kamu akan pergi dengan semua hewan dan burung itu?
Apakah kaum mukminin yang bersamamu akan makan hewan-hewan dan burung-burung
itu, dan engkau tinggalkan kami di sini tanpa apa-apa?”
“Tuhanku telah memerintahkan
kepadaku untuk membawa hewan-hewan dan burung-burung itu ke dalam bahtera!”
Jawab Nabi Nuh.
Dengan agak bingung, isteri Nabi
Nuh bertanya: “Bagaimana Tuhanmu memerintahkan seperti ini?”
Nabi Nuh menjawab: “Kelak akan
kubawa setiap pasang binatang dan semua kaum mukminin di dalam bahtera ini,
dengan kebenaran yang diperintahkan oleh Tuhanku kepadaku.”
Isteri Nabi Nuh tidak mau diam.
Ia bahkan berusaha membantah sambil berkata: “Apa yang akan kamu lakukan dalam
bahtera itu? Apakah kalian akan meninggalkan rumah dan hidup bersama
hewan-hewan dan burung-burung ini?”
Nabi Nuh menjawab: “nanti air
akan menenggelamkan segala sesuatu, dan tidak ada yang selamat kecuali siapa
yang naik ke atas bahtera ini, kemudian memulai kehidupan baru yang muncul
dengan fajar keimanan!”
Kali ini isteri Nabi Nuh
benar-benar merasa takut dan ngeri dengan ucapan suaminya itu. Namun, karena
keingkarannya telah keras membatu, ia tetap berusaha menekan rasa takutnya itu.
Segera ia pergi untuk memberitahu kaumnya tentang yang diperbuat suaminya.
Maka, bertambah keras ejekan mereka kepada Nabi Nuh dan apa yang diperbuatnya.
Ketika datang waktu yang
dijanjikan oleh Allah, terperanjatlah kaum Nabi Nuh melihat datangnya banjir
yang besar seketika. Pintu-pintu langit terbuka dan mencurahkan air hujan ke
bumi, sedangkan Nabi Nuh bersama orang-orang yang beriman belayar di atas
bahtera tanpa isterinya dan Kan’an puteranya.
Mereka berdua menolak ketika Nabi
Nuh memerintahkannya agar ikut bersama ke atas bahtera. Bahkan mereka berkata:
“Aku akan mencari perlindungan ke gunung yang dapat menyelamatkan daku dari
banjir!” (Hud ayat 43)
Banjir terlalu besar, hingga
puncak gunung pun tenggelam. Maka tenggelamlah sang ibu bersama puteranya dalam
gelombang banjir yang dahsyat. Kisah mereka di dalam Al-Quran senantiasa
menjadi tanda dan peringatan bagi seluruh kaum mukminin bahwa petunjuk itu
kadang-kadang terasa lebih jauh meskipun bagi orang yang paling dekat dengan
pemberi petunjuk itu sendiri.