“Allah membuat perumpamaan bagi orang yang ingkar:
Isteri Nuh dan isteri Luth,
mereka adalah isteri dua orang hamba di antara hamba-hamba Kami yang soleh.
Tapi mereka berkhianat (kepada suami-suaminya).
Maka, mereka tiada berdaya
membantu mereka sedikit pun terhadap siksaan Allah.
Kepada mereka dikatakan:
“Masuklah kamu ke dalam neraka Jahannam bersama orang yang masuk ( ke
dalamnya)!” (At-Tahrim: 10)
Seorang wanita bangun dari
tidurnya, dan langsung menuju dapur untuk membuat makanan dan kue kue. Setelah
semua pekerjaan itu selesai, ia segera keluar rumah tanpa memberitahu suaminya,
Nabi Nuh. Sebelum pintu rumahnya terbuka, tiba-tiba anak-anaknya yang masih
muda, Kan’an, menegurnya: “Mau ke mana Ibu pagi-pagi ini?”
Ibu mengisyaratkan sesuatu agar
anaknya merendahkan suara, supaya tidak terdengar oleh orang lain.Lalu
berkata: “Lupakah kamu,
Kan’an, bahwa hari ini adalah hari raya tuhan-tuhan kita? Aku akan pergi ke Makbad
Besar. Di sana kaum kita telah menunggu untuk bersama-sama melaksanakan
penyembahan kepada tuhan yang telah memberi rezeki dan menolong kita.”
Kan’an memandang ibunya dengan
wajah tersenyum, dan kemudian berkata: “Ibu berbuat yang terbaik. Nanti aku akan
menyusul ke sana, sebab bukankah ibu tahu bahwa ayah tidak senang melihat kita
bekerja sama dalam hal ini.”
Pergilah isteri Nuh ke Makbad
Besar itu. Setelah sampai di sana, ia segera berdiri di depan berhala dan
berucap: “Wed, Suwa,
Yaghuts ya’uq, dan Masr…” (nama-nama, berhala) la kemudian memohon, berdoa,
mendekatkan diri, dan mempersembahkan makanan serta minuman bagi para penjaga
yang mulai menyuarakan kalimat-kalimat yang tidak dapat dipahami maksudnya.
Kemudian mereka menunjukkan kepada tuhan-tuhan, dan sekali lagi menunjuk kepada
orang-orang yang mempersembahkan korban dan mengangkat wajah mereka dengan mata
terpejam, agar orang yang mempersembahkan korban itu merasa bahwa Tuhan senang
dan rela kepada mereka.
Isteri Nabi Nuh melihat puteranya
Kan’an, telah keluar dari ruangan sembahan menuju arena tarian di sebelah
Makbad. Di tempat itu, kaum lelaki dan perempuan bercampur menjadi satu;
melakukan perbuatan-perbuatan sesuka hati mereka sambil bersukaria. Melihat
itu, sang ibu merasa cemas dan kuwatir terhadap keadaan anaknya. Diserunya
Kan’an agar kembali kepadanya, tetapi Kan’an malah bersembunyi di tengah-tengah
keramaian itu tatkala ia mendengar panggilan ibunya. Karena Kan’an tidak
kembali setelah lama dipanggil, sang ibu segera kembali menuju berhala-berhala
dan mulai berdoa lagi. Ia tidak ingin menyibukkan diri dengan urusan anaknya
itu. Sambil berdoa, ia mengeluarkan secarik kain yang telah diolesi
wangi-wangian dari bungkusnya, dan kemudian diletakkan di kaki berhala. Itulah
pekerjaan yang biasa dilakukannya.
Waktu berlalu dengan cepat, dan
upacara penyembahan akhirnya selesai. Isteri Nabi Nuh kemudian kembali ke
rumahnya. Dalam perjalanan pulang, ia bertemu dengan anaknya, Kan’an, yang
wajahnya tampak masam. Cepat-cepat ia mendekati anaknya itu dan berkata:
“Apa yang sedang kamu
pikirkan, Puteraku?”
“Tahukah ibu, apa yang telah
dilakukan Nuh, ayahku?” Kata Kan’an.
“Apa yang ia perbuat, Kan’an?”
Tanya ibunya dengan wajah penuh kesedihan.
“Ia menyeru umat di pasar, dan
orang-orang di sekelilingnya, dan membantah apa yang diserukan mereka!” Jawab
Kan’an.
“Apa yang telah dilakukannya di
pasar?” Tanya ibunya kemudian! Apakah ia hendak menjual kayu-kayu yang ia
jadikan perkakas rumah?”
Anaknya menjawab: “Aku telah
mendengar bahwa ia berkata: `Hai,kaumku, sesungguhnya aku adalah pemberi
peringatan yang nyata bagimu; maka sembahlah Allah, bertakwalah dan taatlah
kepadaNya.”
Isteri Nabi Nuh memandang Kan’an
seraya berkata: “Kalau begitu, ayahmu tidak menghendaki kita menyembah
tuhan-tuhan yang memberi rezeki dan memelihara kita.”
“Sesungguhnya ia benci akan hal
itu dan bahkah menghinanya. Ia tidak pernah bersedia mempersembahkan korban
kepada tuhan-tuhan yang biasa kita lakukan,” jawab Kan’an.
Isteri Nuh dan anaknya pulang ke
rumah. Sepanjang jalan keduanya lebih banyak membisu. Tetapi kemudian Kan’an
memecahkan kesunyian itu dengan bertanya: “Apakah yang akan kita lakukan ibu,
jika ayah menyeru kita seperti yang ia serukan kepada kaum negeri ini?”
“Tuhan-tuhan akan mengutukmu,
Kan’an, jika engkau turuti seruan ayahmu itu!” Jawab ibunya. “Apakah kita akan
meninggalkan agama kita dan agama nenek moyang kita hanya karena ayahmu
menyerukan yang lain? Tidak! Sesungguhnya hal itu tidak boleh terjadi!”
Sebelum tengah malam tiba, Nabi
Nuh telah sampai di rumahnya. Semalaman isteri dan anak Nuh tidak dapat
memejamkan mata. Nabi Nuh meletakkan tongkatnya di dinding rumahnya, kemudian
duduk. Tidak lama, isterinya mendekati dan berkata: “Mengapa engkau terlambat
pulang sampai larut malam?”
“Aku mesti menyampaikan risalah
yang diperintahkan Allah kepadaku.” Jawab Nabi Nuh.
“Risalah apakah itu, Nuh?” Tanya
isterinya.
Nabi Nuh menjawab: “Agar manusia
menyembah Tuhannya dan meninggalkan penyembahan kepada
berhala-berhala.” “Kamu
telah bertahun-tahun hidup bersama kami,” sahut isterinya kemudian. “Tetapi
kini kamu berselisih dengan apa yang disembah oleh kaummu. Maka, bagaimanakah
mereka akan percaya kepadamu, yang tiba-tiba mengatakan bahwa Allah telah
mengutusmu kepada mereka dengan membawa suatu risalah dan menyeru mereka untuk
meninggalkan sembahannya?”
Nabi Nuh menjawab:
“Allah telah memilihku untuk
menjalankan tugas ini kapan saja Dia kehendaki. Kumpulkan ke mari anak anak
kita, aku akan menunjukkan kepada mereka tentang risalah yang kubawa ini,
sebagaimana yang telah kuserukan kepada manusia!”
Isteri Nuh tidak bergerak dari
tempatnya, sementara anaknya Kan’an, telah duduk di sampingnya.
Ia kemudian berkata kepada Nabi
Nuh: “Anak-anakmu sedang tidur. Tundalah hal itu sampai datang waktu pagi!”
Kalau begitu, aku akan
menyampaikan masalah ini kepada kalian berdua lebih dahulu.”
“Mengapa kamu tergesa-gesa dalam
urusan ini, tidurlah sampai esok pagi!” Sahut isterinya.
“Tidak!” Kata Nabi Nuh. “Aku
harus melaksanakan tanggung jawabku terhadap Allah. Sesungguhnya kamu berdua
adalah ahli baitku, dan aku harus menjadi orang yang menyeru kamu berdua
pertama kali. Bersaksilah bahwa Allah itu satu, tidak ada sekutu bagi-Nya dan
tinggalkanlah semua yang kamu sembah kecuali Allah.”
Mendengar itu Kan’an melihat ke
arah ayah dan ibunya. Sang ibu pula memandang kepadanya seraya mengangguk dan
berkata: “Kami tidak
akan meninggalkan penyembahan tuhan-tuhan kami dan tuhan-tuhan kaum kami
semua.” Dan Kan’an
pula berkata, setelah, mendengar apa yang dikatakan oleh ibunya itu: “Wahai,
ayah, kulihat ayah menolak ucapannya.”
Nabi Nuh menjawab:
“Tidak mungkin aku akan
meninggalkan risalah yang dibebankan oleh Allah kepadaku untuk kusampaikan
kepada umat manusia? Kamu berdua terus-menerus menyembah batu dan kayu yang
tidak dapat mendatangkan mudarat ataupun manfaat; dan kamu enggan menyembah
Tuhan yang Maha Esa lagi Berkuasa.”
Mendengar perdebatan itu,
anak-anak Nabi Nuh yang lain terbangun dari tidurnya. Mereka semua bangun dan
menghampiri ketiga orang itu, untuk mengetahui masalah yang sebenarnya terjadi.
Melihat itu sang ibu segera
berkata kepada mereka semua.
“Ayahmu menghendaki agar kita
meninggalkan tuhan-tuhan yang biasa kita sembah untuk kita dan menyembah
tuhannya yang ia katakan telah mengutusnya untuk membimbing manusia.”
“Siapakah Tuhanmu itu, ayah?”
Tanya anak-anak Nabi Nuh kepada ayah mereka.
“Dia adalah Pencipta langit dan
bumi serta semua makhluk yang ada di atas alam ini. Dialah yang memberi rezeki,
mematikan semua manusia di hari perhitungan (kiamat),” jawab Nabi Nuh.
“Di manakah Dia berada,Ayah?
Apakah Ia berada di Makbad besar bersama tuhan-tuhan yang biasa kami sembah? ”
Tanya salah seorang di antara anak-anak Nabi Nuh.
“Anak-anakku,” kata Nabi Nuh:
“Sesungguhnya Allah tidak
dibatasi oleh ruang atau waktu. Dia adalah Pencipta ruang dan waktu itu
sendiri. Dia tidak dapat dilihat oleh mata kita.”
“Jika demikian, bagaimana kita
mengetahui bahwa Dia ada?” Tanya yang lain.
Nabi Nuh menjawab:
“Dari tanda-tanda kekuasaan-Nya
atas segala sesuatu dari ciptaan-Nya dan pengadaan-Nya, dari langit yang
ditinggikan-Nya tanpa tiang; dari bumi yang dihamparkan-Nya dan di dalamnya
terdapat sungai-sungai dan lautan; dari hujan yang tercurah dari langit dan
menumbuhkan tanaman yang memberikan sumber rezeki manusia dan hewan-hewan; dan
dari kekuasaan-Nya menciptakan manusia dan mematikan mereka; yang semua itu ada
di depan kita.”
Mendengar itu, anak-anak Nabi Nuh
serentak berkata:
“Allah telah melapangkan hati
kami untuk menerima kebaikan yang ayah serukan.”