Nabi Nuh membuat kapal

Kembali

      Setelah menerima perintah Allah untuk membuat sebuah kapal, segeralah Nabi Nuh mengumpulkan para pengikutnya dan mereka mulai mengumpulkan bahan yang diperlukan untuk pembuatan kapal tersebut, kemudian dengan mengambil tempat di luar dan agak jauh dari kota dari keramaian dan mereka dengan rajin dan tekun bekerja siang dan malam menyelesaikan pembinaan kapal yang diperintahkan itu. Walaupun Nabi Nuh telah menjauhi kota dan masyarakatnya, agar dapat bekerja dengan tenang tanpa gangguan untuk menyelesaikan pembinaan kapalnya, namun ia tidak luput dari ejekan dan cemo'ohan kaumnya yang kebetulan atau sengaja melalui tempat kerja pembuatan kapal itu. Mereka mengejek dan mengolok-olok dengan mengatakan: “Wahai Nuh! Sejak kapan engkau telah menjadi tukang kayu dan pembuat kapal?Bukankah engkau seorang nabi dan rasul menurut pengakuanmu, kenapa sekarang menjadi seorang tukang kayu dan pembuat kapal. 

      Dan kapal yang engkau buat itu di tempat yang jauh dari air ini, dan maksudmu untuk bisa ditarik oleh kerbau ataukah mengharapkan angin yang akan menarik kapalmu ke laut?” Dan lain lain kata kata ejekan yang diterima oleh Nabi Nuh dengan sikap dingin dan tersenyum seraya menjawab: ”Baiklah tunggu saja saatnya nanti, jika kamu sekarang mengejek dan mengolok-olok kami maka akan tibalah waktunya nanti bagi kami untuk mengejek kamu dan akan kamu ketahui nanti untuk apa kapal yang kami siapkan ini.Tunggulah saatnya azab dan hukuman Allah yang akan menimpa diri kamu.”

      Setelah selesai pekerjaan pembuatan kapal yang merupakan alat pengangkutan laut pertama di dunia, Nabi Nuh menerima wahyu dari Allah:”Siap-siaplah engkau dengan kapalmu, apabila ada perintah-Ku dan terlihat tanda-tanda dari Ku maka segera angkutlah yang bersamamu di dalam kapalmu serta kerabatmu dan bawalah dua pasang dari setiap jenis makhluk yang ada dimuka bumi dan belayarlah dengan izin-Ku.” Kemudian tercurahlah dari langit dan memancur dari bumi air yang deras dan dahsyat yang dalam sekejap mata telah menjadi banjir besar yang melanda seluruh kota dan desa menggenangi daratan yang rendah maupun yang tinggi sampai mencapai puncak bukit-bukit sehingga tidak ada tempat untuk berlindung dari air bah yang dahsyat itu kecuali kapal Nabi Nuh yang telah terisi penuh dengan para orang mukmin dan pasangan makhluk yang diselamatkan oleh Nabi Nuh atas perintah Allah.

      Dengan iringan “Bismillahi majraha wa mursaha” belayarlah kapal Nabi Nuh dengan lajunya menyusuri lautan , menentang angin yang kadang kala lemah lembut dan kadang kala ganas dan ribut. Di kanan kiri kapal terlihatlah orang-orang kafir berenang melawan gelombang air yang menggunung berusaha menyelamatkan diri dari cengkaman maut yang sudah sedia menerkam mereka di dalam lipatan gelombang-gelombang itu. Tatkala Nabi Nuh berada di atas geladak kapal memperhatikan cuaca dan melihat-lihat orang-orang kafir dari kaumnya sedang bergelimpangan di atas permukaan air, tiba-tiba terlihatlah olehnya tubuh putera sulungnya yang bernama “Kan’aan” timbul tenggelam dipermainkan oleh gelombang yang tidak menaruh belas kasihan kepada orang-orang yang sedang menerima hukuman Allah itu. Pada saat itu, tanpa disadari, timbullah rasa cinta dan kasih sayang seorang ayah terhadap putera kandungnya yang berada dalam keadaan cemas menghadapi maut yang ditelan gelombang.

      Nabi Nuh secara spontan, terdorong oleh suara hati kecilnya berteriak dengan sekuat suaranya memanggil puteranya:Wahai anakku! Datanglah kemari dan bergabunglah bersama keluargamu. Bertaubatlah engkau dan berimanlah kepada Allah agar engkau selamat dan terhindar dari bahaya maut yang engkau menjalani hukuman Allah.” Kan’aan, putera Nabi Nuh, yang tersesat dan telah terkena racun rayuan setan dan hasutan kaumnya yang sombong dan keras kepala itu menolak dengan keras ajakan dan panggilan ayahnya yang menyayanginya dengan kata-kata yang menentang: ”Biarkanlah aku dan pergilah, jauhilah aku, aku tidak sudi berlindung di atas geladak kapalmu aku akan dapat menyelamatkan diriku sendiri dengan berlindung di atas bukit yang tidak akan dijangkau oleh air bah ini.”

      Nuh menjawab:”Percayalah bahwa tempat satu-satunya yang dapat menyelamatkan engkau ialah bergabung dengan kami di atas kapal ini. dan hari ini tidak akan ada yang dapat melepaskan diri dari hukuman Allah yang telah ditimpakan ini kecuali orang-orang yang memperoleh rahmat dan keampunan-Nya.” Setelah Nabi Nuh mengucapkan kata-katanya lalu tenggelamlah Kan’aan disambar gelombang yang ganas dan lenyaplah ia dari pandangan mata ayahnya, tergelincirlah ke bawah lautan air dengan kawan-kawannya dan pembesar-pembesar kaumnya yang durhaka itu.

     Nabi Nuh bersedih hati dan berdukacita atas kematian puteranya dalam keadaan kafir tidak beriman dan belum mengenal Allah. Beliau berkeluh-kesah dan berseru kepada Allah: ”Ya Tuhanku, sesungguhnya puteraku itu adalah darah dagingku dan adalah bagian dari keluargaku dan sesungguhnya janji-Mu adalah janji yang benar dan Engkaulah Maha Hakim,  yang Maha Berkuasa. ”Kepadanya Allah berfirman:”Wahai Nuh! Sesungguhnya dia puteramu itu tidaklah termasuk keluargamu, karena ia telah menyimpang dari ajaranmu, melanggar perintahmu menolak dakwahmu dan mengikuti jejak orang-orang yang kafir dari kaummu. Coretlah namanya dari daftar keluargamu.

     Hanya mereka yang telah menerima dakwahmu mengikuti jalan mu dan beriman kepada-Ku dapat engkau masukkan dan golongkan ke dalam barisan keluargamu yang telah Aku janjikan perlindungannya dan terjamin keselamatan jiwanya. Adapun orang-orang yang mengingkari risalah mu, mendustakan dakwahmu dan telah mengikuti hawa nafsunya dan tuntunan Iblis, pastilah mereka akan binasa menjalani hukuman yang telah Aku tentukan walau mereka berada dipuncak gunung. Maka janganlah engkau sekali kali menanyakan tentang sesuatu yang engkau belum ketahui. Aku ingatkan janganlah engkau sampai tergolong ke dalam golongan orang-orang yang bodoh.”

     Nabi Nuh sadar segera setelah menerima teguran dari Allah bahwa cinta kasih sayangnya kepada anaknya telah menjadikan ia lupa akan janji dan ancaman Allah terhadap orang-orang kafir termasuk puteranya sendiri. Ia sadar bahwa ia tersesat pada saat ia memanggil puteranya untuk menyelamatkannya dari bencana banjir yang didorong oleh perasaan naluri darah yang menghubungkannya dengan puteranya padahal seharusnya cinta dan taat kepada Allah, harus mendahului cintanya kepada keluarga dan harta-benda. Ia sangat menyesal atas kelalaian dan kealpaannya itu dan menghadap kepada Allah memohon ampun serta bertobat dengan berseru: ”Ya Tuhanku aku berlindung kepada-Mu dari godaan setan yang terlaknat, ampunilah kelalaian dan kealpaanku sehingga aku menanyakan sesuatu yang aku tidak mengetahuinya. Ya Tuhanku bila Engkau tidak memberi ampun serta menurunkan rahmat bagiku, niscaya aku menjadi orang yang rugi.”

     Setelah air bah itu mencapai puncak keganasannya dan binasalah kaum Nuh yang kafir dan zalim sesuai dengan kehendak dan hukum Allah, surutlah lautan air lalu diserap bumi kemudian tertambatlah kapal Nuh di atas bukit ” Judie ” dengan iringan perintah Allah kepada Nabi Nuh: ”Turunlah wahai Nuh ke darat engkau dan para mukmin yang menyertaimu dengan selamat dilimpahi barakah dan inayah dari sisi-Ku bagimu dan bagi umat yang menyertaimu.”