Bab I , part 2


Pada pemahaman ‘Abdul Qahir al-Baghdadi  yang disebutkan sebagai golongan-golongan yang keji itu yang dikatakan ahli neraka itu sesuai kepada golongan-golongan dari kalangan para fuqaha’ (firaq al-fuqaha’) yang mempunyai pendirian yang berlainan dalam masalah-masalah cabang fiqh beserta mereka itu setuju dalam bidang ushul agama. Beliau menyatakan pendirian atau kepemahaman yang demikian itu adalah berdasarkan kepada kaedah bahwa dalam perkara-perkara furu’ tentang halal dan haram yang terdapat di dalamnya khilaf di kalangan ‘ulama’ Muslim itu ada dua pendapat; satunya mereka yang menganggap benar semua sesuai dengan pandangan mujtahidin yang dikeluarkan dalam masalah-masalah furu’fiqh. dan kepada pendapat mereka yang berpegang kepada kaedah ini golongan fiqh adalah benar. Keduanya mereka yang menganggap di dalam tiap-tiap masalah furu’ ada satu golongan yang benar, dan yang baki lagi itu salah, dan sangat salahnya golongan yang baki lagi itu tidak membawa kepada kesesatan.

Seterusnya beliau menyatakan bahwa Baginda S.A.W. merincikan sebutan tentang golongan-golongan tercela (firaq al-mudhmumah)sebagai golongan-golongan yang mengikuti hawa nafsu yang sesat yang menyalahi golongan yang selamat itu dalam beberapa perkara : keadilan Tuhan dan tauhid, dalam al-Wa’d dan al-Wa’id, bab al-Qadr dan al-Istita’ah, atau dalam bab Taqdir baik dan buruknya, bab hidayah dan kesesatan, atau bab Iradah dan Mashi’ah (Kehendak dan Iradat Allah) atau bab Ru’yah atau Idrak (Melihat Tuhan dan mencapainya), atau bab-bab sifat-sifat Allah dan nama-namanya, atau dalam satu bab dari bab-bab ta’dil dan taj’wiz, atau satu bab dari bab-bab nubuwwah dan syarat-syaratnya dan lain lain, dari bab-bab yang di dalamnya Ahli’s-Sunnah Wa ‘ I-Jama’ah bersepakat. dan yang tidak bersepakat dengan Ahli’s-Sunnah wal-Jama’ah ialah golongan Ahlu’I-Ahwa’ad-Dallah, golongan pengikut hawa nafsu yang sesat, yang terdiri dari Qadariyah, Khawarij, Rawafid, Najjariyah, Jahmiyah, Mujassimah dan Mushabbihah, dan mereka yang berpegangan kepada yang sesat. Ringkasnya, menurut beliau bahwa sah lah pentakwilan maksud hadits tersebut dengan golongan-golongan yang sesat itu adalah golongan yang bukan termasuk di dalam mereka yang berikhtilaf dalam bidang furu’ fiqhiyyah bahkan dalam bidang ushulu’d-din.

Hadits hadits sebagaimana yang disebutkan di atas telah didapati dalam Sahih Tirmidhi,  riwayat dari Abu Hurairah; yang diriwayatkan bahwa Baginda S.A.W. bersabda:
     Maksudnya: “Sesungguhnya orang orang yahudi telah berpecah belah menjadi tujuh puluh, satu golongan atau tujuh puluh dua golongan, dan orang-orang Kristian seperti itu juga, dan umatku akan berpecah belah menjadi tujuh puluh tiga golongan (firqah) “. Dinyatakan oleh Tirmidhi bahwa ini hadits hasan sahih.

Sebuah hadits lagi yang diriwayatkan dalam Sahih Tirmidhi dari riwayat ‘Abdullah bin ‘Amr radiya’Llahu ‘anhu bahwa Baginda S.A.W. bersabda:
      Maksudnya: “Benar-benar akan terjadi ke atas umatku apa yang telah terjadi atas Bani Isra’il seperti selipar dengan selipar, sehingga jikalau ada di kalangan mereka seseorang yang mendatangi ibunya sendiri (bersetubuh dengannya) dengan terang-terangan, akan ada di kalangan ummatku seseorang yang melakukan demikian itu; dan sesungguhnya Bani Isra’il berpecah belah menjadi tujuh puluh dua golongan (millah) dan umatku akan berpecah belah menjadi menjadi tujuh puluh tiga golongan (millah) semua mereka itu masuk dalam neraka melainkan satu golongan (yang tidak masuk neraka). Para sahabat bertanya: (Siapakah mereka dalam) millah yang satu itu wahai Rasulullah? Kata Baginda “(Mereka itu adalah golongan yang mengikuti) perjalanan hidupku dan para sahabatku”. Hadits gharib.

Tentang hadits yang menganjurkan supaya senantiasa diikuti sunnah Baginda S.A.W., maka kita teringat kepada hadits riwayat Tirmidhi, riwayat dari ‘Irbad bin Sariyah katanya, bahwa pada suatu hari setelah sembahyang pagi ( yaitu sesudah subuh) Nabi S.A.W. menyampaikan pelajaran yang cukup maksudnya, maka dari itu keluarlah air mata orang banyak, dan di hati mereka pun menjadi takut, maka (dalam hal itu) berkatalah seorang lelaki  “Sesungguhnya nasehat adalah nasehat seperti nasehat yang mengucapkan selamat tinggal, apakah yang tuan hamba ingin mewasiatkan kepada kami wahai Rasulullah?” Lalu Baginda S.A.W. bersabda:
      Maksudnya: “Aku berwasiat kepada kamu sekalian supaya bertaqwa kepada Allah, supaya mendengar dan taat, walaupun ia seorang hamba abdi bangsa Habsyi ( yang diangkat menjadi ketua kamu sekalian)' maka sesungguhnya siapa saja dari kalangan kamu yang hidup (bila sampai waktunya) ia akan melihat terjadi perselisihan yang banyak, dan hendaklah kamu berjaga-jaga dari (mengadakan) perkara-perkara baru (dalam urusan agama), maka sesungguhnya itu adalah kesesatan; maka siapa saja di kalangan kamu yang mendapat perkara demikian itu hendaklah ia mengikuti Sunnahku dan Sunnah para Khulafa’ a]-Rasyidin yang mendapat hidayah dari Allah, dan hendaklah kamu berpegang kepada Sunnah itu dengan gigi geraham kamu”. Hadits hasan sahih.

Dengan jelas sekali hadits ini menyuruh berpegang kepada Sunnah Nabi S.A.W. dan perjalanan para Khulafa’ al-Rasyidin yang memimpin ke jalan yang benar.
Hadits yang demikian itu juga didapati dalam Sunan Ibn Majah, juga nwayat dari ‘Irbad bin Sariyah radiya’Llahu ‘anhu, bahwa Nabi S.A.W. bersabda setelah Baginda memberi nasebat yang cukup terkesan pada hati, katanya:
       Maksudnya: “Hendaklah kamu semua bertaqwa kepada Allah; hendaklah kamu dengar dan taat (kepada pemimpin kamu) walaupun ia hanya seorang hamba Habsyi. Dan kamu akan melihat setelahku perselisihan yang hebat dan berat (ikhtilafan shadidan). Maka hendaklah kamu berpegang kepada perjalanan sunnahku dan sunnah atau perjalanan hidup para Khulafa’ al-Rashidin yang mendapat hidayah dari Tuhan. Hendaklah kamu berpegang kepada perjalanan itu dengan gigi geraham kamu. Jagad irilah kamu dari (mengada adakan atau mengikuti) perkara-perkara baru (dalam urusan agama); maka sesungguhnya tiap-tiap bid’ah itu adalah kesesatan”.

Bisa diperhatikan dalam hadits ini kelainan kalimat dari hadits terdahulu, yaitu ikhtilafah shadidan mengganti ikhtilafah kathiran. Yang ditekankan dalam hadits ini ialah keperluan berpegang kepada Sunnah Baginda S.A.W. dan para Khulafa’ al-Rashidin. yang menyangkut dengan konsep Khulafa’ alRashidin, dikatakan oleh pennulis yang di setujuinya bahwasanya ada kalimat yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan Khulafa’al-Rashidin itu bukan hanya terbatas kepada mereka itu, tetapi termasuk mereka yang menjalani perjalanan sebagaimana mereka itu yang terdiri dari para pemimpin Muslimin (min a’immat’ul-Islam). Kata beliau lagi: Mereka itu adalah para khalifah bagi Rasulullah S.A.W. yang menegakkan al-haqq dan menghidupkan agama dan memimpin manusia kepada perjalanan yang benar. Penafsiran demikian ini nampaknya dibenarkan oleb sebuah hadits yang menyebutkan para khulafa’ sebagai mereka yang menghidupkan Sunnah Nabi S.A.W.  beliau bersabda :
     Maksudnya: “Semoga rahmat Allah dicurahkan kepada para khalifahku. Baginda ditanya: Siapakah para khalifah  ya Rasulullah?. Mereka yang menghidupkan Sunnahku…………… (Hadith riwayat dari al-Hassan)

Selain dari itu juga disebutkan dalam sebuah hadits lagi riwayat Ibn Majah  juga riwayat dari al-’lrbad bin Sariyah radiya’Llabu ‘anhu bahwa Baginda bersabda bila diminta tambahkan wasiatnya:

     Maksudnya: “Aku telah meninggalkan kamu dalam perjalanan yang terang benderang (‘yang putih’ (al-baida’) yang nnaksudnya  millah dan hujjah yang nyata yang tidak ada kekeliruan lagi di dalamnya); Malamnya adalah seperti siangnya. Tidak menjadi melenceng setelahku melainkan orang yang sengaja membinasakan dirinya. Siapa saja dari kamu semua yang hidup (sampai waktu itu) maka ia akan melihat perselisihan yang banyak (ikhtilafan kathiran); maka hendaklah kamu berpegang kepada apa yang kamu ketahui dari Sunnahku dan Sunnah Khulafa’al-Rashidin yang dikurniakan dan hidayah (oleh Allah). Hendaklah kamu berpegang kepadanya dengan gigi geraham kamu. Dan hendaklah kamu taat (kepada para pemimpin kamu) walaupun (yang diangkat menjadi pemimpin itu) seorang hamba bangsa Habshi. Sesungguhnya seseorang Mu’min itu adalah seperti unta yang dicocok hidungnya ( yaitu ada tali penuntunnya pada hidungnya), ke mana saja ia dibawa, ia mengikutinya (yaitu orang Mu’min yang tidak takabur dan merendahkan diri dan mengikuti peraturan Syara’di mana saja ia dibawa”.

Jelas dalam hadits ini tuntunan di atas itu, supaya umat muslim mengikuti Sunnah Nabi S.A.W. dan mengikuti perjalanan Khulafa’al-Rashidin. Demikian juga ditekankan kepada mereka tentang dasar ketaatan yang sewajamya yang dituntun oleh Syara’.
Setelah meneliti beberapa hadits tersebut dengan masalah perpecahan ummat muslim dan golongan yang selamat serta tuntutan supaya orang mu’min itu mengikuti Sunnah Nabi S.A.W., dan perjalanan Khulafa’al-Rashidin, sebagai para Sahabat, Allah meridhai mereka itu, ada beberapa pengamatan yang boleh dibuat yang menyangkut dengan nash nash ini.

dan di antaranya bahwa hadits hadits itu adalah  sangat kuat sandarannya, maka oleh karena itu jelas mengapa itu semuanya dijadikan sandaran untuk memahami masalah ini di kalangan para ulama’ kita yang mu’tabar. Tentang perpecahan perpecahan yang terjadi dalam sejarah tiga agama besar itu, itu nampaknya biasa, sebagaimana yang didapati dalam al-Quran yang sering menyebut tentang Ahli Kitab yang terdiri dari Yahudi dan Nashara. Maka dalam hadits hadits tersebut dengan perpecahan ini di dapati juga Yahudi dan Nashara. Kalimat-kalimat yang digunakan untuk menyebut “golongan” itu ialah di antaranya “firqah” jamak “firaq”, “millah”, tapi tidak disebut jamaknya;

dan yang tidak ada kekeliruan lagi di dalamnya. Orang orang yang membelok dari padanya adalah Orang Yang mempunyai kecenderungan yang tidak baik Yang dengan sengaja mernbinasakan dirinya. Istilah ini menyentuh hati kita oleh karena ia hanya memberikan konsep tentang perwujudan umat yang berdiri di atas ajaran dan Pegangan yang tidak stabil, yang menjadi penentu,
atau timbangan untuk memutuskan sesuatu itu benar atau wajar atau sebaliknya’  Itulah umat ahlul-haqq yang orthodoks dalam pengertian yang sebenar-benamya. timbangan inilah yang menentukan konsep Ahli’s-Sunnah wal-Jama’ah yang sistem keilmuannya diuraikan kemudian.