Untuk meneliti beberapa tahap perkembangan sejarah Islam yang kemudian membawa kepada berbagai perselisihan dan khillafah itu, membuat kita untuk mengingat kembali kepada beberapa persoalan yang berhubungan dengan hal itu. diantaranya ialah sebagaimana yang disebutkan oleh al-Baghdadi rahimahuLlahu Ta’ala dalam al-Farq baina’l-Firaqnya. Dinyatakan oleh bellau bahwa pada masa wafat Baginda S.A.W. ( yaitu pada tahun 10 hijrah) berada dalam perjalanan agama yang satu dan dalam dasar-dasar agama (usulu’ddin) dan cabang cabangnya, selain dari mereka yang menlahirkan persetujuan dan yang menyembunyikan kemunafikan. Perkara khilafah yang pertama terwujud ialah yang berhubungan dengan kewafatan Baginda S.A.W. Akhimya mereka yang menyangka Baginda tidak mati tetapi diangkat oleh Allah sebagaimana Sayyidina ‘Isa A.S. dan setuju bahwa Baginda memang wafat ketika Abu Bakar radiya’Llahu ‘anhu membaca ayat yang maksudnya : “Sesungguhnya engkau mati dan mereka pun mati’,.22
Beliau juga berkata kepada
mereka, “Siapa saja yang menyembah Muhammad, maka sesungguhnya Baginda telah
wafat, dan siapa saja yang menyembah Tuhan Muhammad, maka la Maha Hidup dan
tidak mati”. Kemudian timbul khilafah tentang tempat hendak dikebumikan Baginda
S.A.W. Akhimya ia diselesaikan dengan Abu Bakar radiya’Llahu ‘anhu meriwayatkan
kepada mereka hadits dari Nabi S.A.W. yang mabsudnya : “Sesungguhnya para
anbiya’ dikebumikan di mana mereka wafat”.,, Maka Baginda dikebumikan dalam
kamarnya di Madinah. Kemudian timbul ikhtilaf berhubungan dengan khilafah,
pihak al-Ansar ingin memberi bai’ah kepada Sa’d bin ‘Ubadah; kemudian pibak
Quraish menyatakan bahwa imamah mesti harus di tangan orang-orang Quraish yang
berdasarkan kepada hadits yang maksudnya , “Imam-imam hendaklah dari kalangan
orang-orang Quraish”. Ikhtilaf berhubungan dengan Imamah ini terus berlanjut
sampai pada zaman ‘Abdul Qahir al-Baghdadi rahimahu’Llahu Ta’ala dan bisa
dikatakan kesan-kesannya sampai sekarang masih ada di kalangan kaum Muslimin.
Kemudian timbul ikhtilaf
berhubungan dengan zakat harta, akhimya diselesaikan dengan Abu Bakar
radiya’Llahu ‘anhu meriwayatkan hadits yang maksudnya : “Sesungguhnya para
anbiya’ tidak dipusakai,,.setelah itu timbul masalah tentang mereka yang tidak
mau menunaikan zakat, setelah itu mereka setuju dengan keputusan Abu Bakar
bahwa golongan yang enggan itu akan diperangi. setelah itu mereka sibuk dengan
peperangan melawan Tulaihah jika ia mengaku menjadi nabi dan murtad dari agama
Islam. Setelah ia lari ke Syam, kemudian kembali dalam zaman Umar kepada agama
Islam, ia berjihad bersama Sa’ad bin Abi Waqqas dalam peperangan Qadissiyyah
dan ia mati syahid dalam peperangan Nehawand. Kemudian Musliniin sibuk dengan
peperangan melawan Musailamah al-Kadhdhab yang mengaku dirinya nabi, serta
alAswad bin Zaid’ansi. setelah itu mereka sibuk dengan membunuh mereka yang
lain lagi yang murtad keluar dari agama Islam. Kemudian mereka sibuk dengan
peperangan melawan kerajaan Romawi Timur dan juga kerajaan Farsia, dan Allah
membuka negeri-negeri itu untuk mereka. Pada masa itu mereka berperang
berpegang pada satu yaitu tentang bab-bab keadilan Tuhan, Tauhid, al-Wa’d,
al-Wa’id, dan lain-lain hal dalam ushuluddin.
Adapun dalam masalah-masalah fiqh
ada beberapa terjadi perselisihan pendapat di kalangan mereka misalnya saja
keadaan paman menerima pusaka berserta saudara lelaki dan saudara-saudara
perempuan serta dengan bapak dan ibu atau serta dengan bapak, demikian
seterusnya, tetapi perselisihan atau perbedaan pendapat itu tidak membawa
kepada timbulnya kekafiran atau kesesatan di kalangan mereka. Demikianlah keadaannya
di zaman pemerintahan Abu Bakar, ‘Umar dan ‘Utsman radiya’Llahu ‘anhum ajma’in.
Kemudian terjadi khilafah di
kalangan mereka berhubungan dengan ‘Utsman bin ‘Affan dan mengenai
perkara-perkara yang dituduhkan kepadanya sehingga para muslimin yang tidak
senang padanya lalu membunuhnya; kemudian mereka berikhtilaf lagi tentang para
pembunuhnya dan mereka yang menghasut manusia supaya menentang itu; demikianlah
khilaf itu masih ada sampai zaman selanjutnya, sampailah pada zaman alBaghdadi,
dan bisa kita katakan sampai abad kita ini.
Setelah itu terjadi ikhtilaf pula
dalam hubungan dengan keadaan ‘Ali bin Abi Talib radiya’Llahu ‘anhu dan mereka
yang terlibat dalam peperangan al Jamal, juga tentang kedudukan Mu’awiyah dan
mereka yang terlibat dalam peperangan Siffin, serta dua orang hakim yaitu Abu
Musa al-Ash’ari dan ‘Amru bin al-’As; ikhtilaf yang melibatkan mereka ini
berlanjut sampai ke zaman kemudian, dan kita sekarang bisa mengatakan ia hanya
berlanjut sampai hari ini.
Kemudian dalam zaman muta’akhkhirin
dari kalangan para Sahabat terjadilah khilafah dari golongan Qadariyah
berhubungan dengan Qadar dan istita’ah atau ikhtiar makhluk, yang datang dari
Ma’bad al-Juhani dan Ghailan al-Dimashqi, serta Ja’d bin Darham. Mereka yang
muta’akhkhirin di kalangan para Sahabat terbebas dari perkara itu semua,
seperti ‘Abdullah bin ‘Amr, Jabir bin ‘Abdullah, Abu Hurairah, Ibn ‘Abbas, Anas
bin Malik, ‘Abdullah bin Abi Aufa, ‘Uqbah bin ‘Amir al-Juhani dan yang semasa
dengan mereka itu. Mereka ini mewasiatkan orang banyak supaya jangan memberi
salam kepada golongan Qadariyah dan jangan pergi menyembahyangkan jenazah
mereka itu.
Kemudian terjadi ikhtilaf di
kalangan golongan Khawarij sehingga mereka berpecah belah menjadi dua puluh
golongan, tiap-tiap satu darinya mengkafirkan yang lain. Kemudian terjadilah
kepada zaman al-Hassan al-Basri radiya’Llahu ‘anhu khilafah dengan Wasil bin
‘Ata’ dalam masalah Qadar dan masalah manzilah bainal-manzilatain (yaitu
kedudukan antara dua kedudukan: antara iman dan kufar); masalah itu menjadi
bertambah lagi dengan timbulnya bid’ah dari ‘Amru bin ‘Ubald bin Bab dan
keduanya telah disingkirkan oleh alHasan dari majlisnya, Ialu mereka berdua
meninggalkan jamaah di Masjid Basrah. Keduanya dan para pengikutnya dipanggil
Mu’tazilah karena mereka itu memisahkan diri dari pegangan ummat di mana mereka
mendakwakan bahwa orang fasiq dari kalangan Muslimin tidak Mu’min dan juga
tidak kafir.
Adapun golongan Rawafid maka yang
biasanya dipanggil al-Sababiyah di kalangan mereka menlahirkan bid’ah mereka
itu pada zaman ‘Ali bin Abi Talib. Mereka itu dihukum oleh ‘Ali dan Ibn Saba
dan dikenakan hukuman pembuangan karena bid’ahnya. Golongan ini tidak termasuk
umat Islam karena mereka berpendapat ‘Ali radiya’Llahu ‘anhu sebagai Tuhan.
Setelah zaman ‘Ali, golongan Rafidah itu berpecah belah menjadi empat golongan
yaitu Zaidiyah, Imamiyah, Kaisaniyah dan golongan Ghulat ( pelampau ). Golongan
Zaidiyah juga menjadi pemuka pemuka, satu golongan yang mengkafirkan yang
lainnya. Seluruh golongan Ghulat keluar dari umat Islam. Adapun golongan
Zaidiyah dan Imamiyah, mereka masih disebut dari golongan Islam (firaq
al-Islam) ;
Golongan Bakhkhariyah berpecah
belah dan mereka saling kafir mengkafirkan; dan timbul khilafah dari golongan
Bakriyah, yaitu dari seorang yang bernama Bakr, dari saudara perempuan ‘Abdul
Wahid bin Ziyah, juga timbul khilafah dari golongan Dirariyah dari Dirar bin
‘Amr, dan khilafah al-Jahmiyah dari Jahm bin Safwan. Kemunculan Jahm, Bakr dan
Dirar adalah terjadi pada zaman zahir Wasil bin ‘Ata’ dengan kesesatannya.
pada zaman al-Ma’mun al-’Abbasi
timbullah seruan Batiniyah dan mereka ini bukanlah dari golongan Islam, bahkan
mereka ini adalah dari golongan Majusi. Dan juga muncul pada zaman Muhammad bin
Tahir bin ‘Abdullah bin Tahir di Khurasan khilafah al-Karramiyah al-Mujassimah.
Mengenai golongan Zaidiyah dari
kalangan Rawafid, yang kuat di kalangan mereka ialah tiga yaitu Janidiyah,
Sulaimaniyah juga dipanggil Haririyah dan al-Batriyah. Tiga golongan ini
bersepakat tentang imamah Zaid bin ‘Ali bin al-Husain bin ‘Ali bin Abi Talib
pada hari kelahirannya yaitu pada zaman Hisham bin ‘Abdul Malik.
Dari golongan Kaisaniyah juga
timbul banyak golongan, bagaimanapun akhir nya kembali kepada dua golongan
saja. Satunya yang mendakwa bahwa Muhammad bin al-Hanaflyah hidup tidak mati
dan mereka menantikan timbul sebagai al-Mahdi yang dinanti-nantikan itu. Satu
golongan lagi yang mempercayai imamahnya pada masa hidupnya saja dan bila ia
meninggal imamah itu berpindah kepada orang lain.
Golongan Imamiyah yang mufarawah
bagi Zaidiyah, Kisa’iyah dan Ghulat, mereka ini menjadi lima belas firqah
(golongan) yaitu Muhammadiyah, al-Baqiriyah, alNawisiyah,
Shumaitiyah,’Ammariyah, Isma’iliyah, Mubarakiyah, Musawiyah, Qat’iyah dan Ithna
‘Ashariyah, Hishamiyah dari pengikut Hisharn bin al-Hakam, atau dari pengikut
Hisham bin Salim al-Jawaliqi,Zharariyah, dari pengikut Zurarah bin U’yun dan
Yunusiyah dari pengikut Yunus al-Qummi dan Shaitaniyah dari pengikut Shaitan
al-Taq dan Kamiliyah dari pengikut Abu Kamil; beliau inilah yang mengeluarkan
kata-kata yang paling keji tentang ‘Ali dan para sahabat yang lain,
radiya’Llahu ‘anhum. Inilah dua puluh golongan yang merupakan golongan Rawafid;
tiga dari Zaidiyah, dua dari Kaisaniyah dan lima belas dari Imamiyah.
Adapun golongan Ghulat mereka itu
yang berpegang kepada ketuhanan Imam-imam mereka dan mengharuskan
perkara-perkara yang diharamkan oleh. syara’, dan yang menggugurkan kewajiban
perkara-perkara yang wajib dari syariat, seperti Bayyaniyah, Mughiriyah,
Janahiyah, Mansuriyah, Khattabiyah dan Hululiyah dan yang mengikuti perjalanan
mereka itu. Maka mereka itu bukan dari golongan Islam walaupun mereka itu
dikaitkan dengannya.
Adapun golongan Khawarij, jika
terjadi perpecahan dalam kalangan mereka, maka mereka menjadi dua puluh
golongan yaitu Muhakkimah Ula, Azraqiyah, Najdlyah, Sifriyah, ‘Ajradiyah dan
dari ‘Ajradiyah itu berpecah belah menjadi Khazimiyah, Shu’aibiyah, Ma’lumiyah,
Majhuliyah, Ma’badiyah, Rashidiyah, Mukarramiyah, Hamziyah, Ibrahimiyah dan
Wafiqiyah. Dari golongan lbadiyah timbul perpecahan menjadi Hafsiyah,
Harithiyah,Yazidiyah dan para ahli taat yang bukan terhadap Allah. Yazidiyah
itu ialah dari kalangan mereka yang mengikuti Ibn Yazid bin Unais dan mereka
itu bukan dari golongan Islam oleh karena mereka berpegang kepada pendapat
bahwa syari’at Islam menjadi mansukh di akhir zaman dengan adanya nabi yang
dibangkitkan dari kalangan orang-orang bukan Arab (al-’Ajam). Demikian juga
dari ‘Ajradiyah itu timbul golongan Maimuniyah yang bukan dari golongan Islam
karena mereka mengharuskan perkawinan anak perempuan dari anak perempuan dan
anak perempuan dari anak lelaki (keponakan) sebagaimana yang diharuskan oleh
orang-orang Majusi, walaupun disebutkan bahwa Yazidiyah dan Maimuniyah itu
dimasukkan kepada golongan Islam.
Golongan Qadariyah Mu’tazilah
yang memisahkan diri mereka dari yang baik, maka mereka berpecah belah menjadi
dua puluh golongan, tiap satunya mengkafirkan yang lainnya. Mereka itu ialah
golongan lsliyah, ‘Umariyah,Hudhailiyah, Nazzamiyah, Amwariyah, ‘Umariyah,
Thumamiyah, Jahiziyah, Hayitiyah,Himariyah, Khayyatiyah, Sahhamiyah dan para
pengikut Salih Qabah, Muwaisiyah,Kalblyah, Jubba’iyah, Hashimiyah, dimasukkan
kepada Abu Hashim ibn alJubba’i. Mereka itu terdiri dari dua puluh golongan,
dua darinya bukan dari golongan Islam yaitu golongan Hayitiyah dan Himariyah.
Zaidiyah pula menjadi pemuka
pemukanya, demikian juga Imamiyah dan Ghulat, satu golongan mengkafirkan yang
lainnya. Seluruh golongan Ghulat keluar dari umat Islam. Adapun golongan
Zaidiyah dan Imamiyah, mereka termasuk dari golongan Islam (firaq al-Islam) ;
Golongan Bakhkhariyah berpecah belah dan mereka saling kafir
mengkafirkan; timbul khilafah dari golongan Bakriyah, yaitu dari seorang yang
bemama Bakr, dari saudara perempuan ‘Abdul Wahid bin Zlyah, ‘ juga timbul
khilafah dari golongan Dirariyah dari Dirar bin ‘Amr, dan khilaf al-Jahmiyah
dari Jahm bin Safwan. Kemunculan Jahm, Bakr dan Dirar adalah terjadi pada zaman
zahir Wasil bin ‘Ata’ dengan kesesatannya.
Beliau menyatakan bahawa golongan
fuqaha’ mereka itu, juga golongan qurra’nya, ahli-ahli haditsnya, golongan ilmu
kalamnya, di kalangan ahli abli hadits dari kalangan mereka bermuafakat di atas
pegangan yang satu tentang mentauhidkan Tuhan yang menjadikan alam ini, serta
sifat-sifatnya, keadilannya, hikmatnya, nama-namanya, dan sifat-sifatnya, juga
mereka bermuafakat di dalam bab-bab nubuwwah, juga bab Imamah, mereka juga
bermuafakat tentang hukum-hukum di alam akhirat, dan lain-lain, yang terdiri
dari masalah-masalah ushuluddin atau pun perkara-perkara dasar dalam agama.
Mereka ini hanya berikhtilaf dalam masalah halal haram dari pada perkara-perkara
furu’ atau cabang dalam ilmu hukum, dan tidak ada dalam perkara-perkara yang
mereka ikhtilafkan itu yang membawa kepada kesesatan atau kefasikan.
Mereka
itulah yang merupakan firqah (golongan ) yang selamat (al-firqah al-najiyah)
yang bersepakat dalam berikrar tentang keesaan Tuhan yang menjadikan QidamNya
dan Qidam sifat-sifatnya yang Azaliyah dan harus memandangnya dengan tidak ada
tashbih dan ta’til; juga mereka bersepakat tentang berikrar beriman terhadap
kitab-kitab Allah, para RasuINya dan mereka percaya itu diperkuat dan ditolong
dengan Syari’at Islamiyah, dan mereka itu mengharuskan apa yang diharuskan oleh
al Quran dan mengharamkan apa yang diharamkan oleh al Qur’an serta pula dengan
penjagaan penjagaan dari apa yang sah datangnya dari Sunnah Nabi Muhammad
S.A.W., mereka juga bersepakat dalam beriman kepada kebangkitan dan perhimpunan
hari akhirat, pertanyaan Munkar dan Nakir, tentang telaga Nabi S.A.W., tentang
Timbangan Amal. Maka siapa saja yang beriman dengan ini semua dan tidak
mencampur adukkan dengan sesuatu dari bid’ah-bid’ah Khawarij, Rawafid dan
Qadariyah serta lain-lain dari kalangan mereka yang mengikuti hawa nafsu mereka
sendiri maka tergolonglah ia ke dalam golongan yang selamat, jika takdimya
umumnya dalam keadaan demikian itu.
Termasuk ke dalam golongan yang
selamat ini ialah jumhur (kelompok ) umat Islam dan golongan terbanyak
(al-sawad al-a’zam) yang terdiri dari para pengikut Imam-imam Malik, Shafi'i,
Abu Hanifah Auza’i, Thauri dan Daud Zahiri.