Bab II

Kembali                                                           SELANJUTNYA

Untuk meneliti beberapa tahap perkembangan sejarah Islam yang kemudian membawa kepada berbagai perselisihan dan khillafah itu, membuat kita untuk mengingat kembali kepada beberapa persoalan yang berhubungan dengan hal itu. diantaranya ialah sebagaimana yang disebutkan oleh al-Baghdadi rahimahuLlahu Ta’ala dalam al-Farq baina’l-Firaqnya.  Dinyatakan oleh bellau bahwa pada masa wafat Baginda S.A.W. ( yaitu pada tahun 10 hijrah) berada dalam perjalanan agama yang satu dan dalam dasar-dasar agama (usulu’ddin) dan cabang cabangnya, selain dari mereka yang menlahirkan persetujuan dan yang menyembunyikan kemunafikan. Perkara khilafah yang pertama terwujud ialah yang berhubungan dengan kewafatan Baginda S.A.W. Akhimya mereka yang menyangka Baginda tidak mati tetapi diangkat oleh Allah sebagaimana Sayyidina ‘Isa A.S. dan setuju bahwa Baginda memang wafat ketika Abu Bakar radiya’Llahu ‘anhu membaca ayat yang maksudnya :  “Sesungguhnya engkau mati dan mereka pun mati’,.22

Beliau juga berkata kepada mereka, “Siapa saja yang menyembah Muhammad, maka sesungguhnya Baginda telah wafat, dan siapa saja yang menyembah Tuhan Muhammad, maka la Maha Hidup dan tidak mati”. Kemudian timbul khilafah tentang tempat hendak dikebumikan Baginda S.A.W. Akhimya ia diselesaikan dengan Abu Bakar radiya’Llahu ‘anhu meriwayatkan kepada mereka hadits dari Nabi S.A.W. yang mabsudnya : “Sesungguhnya para anbiya’ dikebumikan di mana mereka wafat”.,, Maka Baginda dikebumikan dalam kamarnya di Madinah. Kemudian timbul ikhtilaf berhubungan dengan khilafah, pihak al-Ansar ingin memberi bai’ah kepada Sa’d bin ‘Ubadah; kemudian pibak Quraish menyatakan bahwa imamah mesti harus di tangan orang-orang Quraish yang berdasarkan kepada hadits yang maksudnya , “Imam-imam hendaklah dari kalangan orang-orang Quraish”. Ikhtilaf berhubungan dengan Imamah ini terus berlanjut sampai pada zaman ‘Abdul Qahir al-Baghdadi rahimahu’Llahu Ta’ala dan bisa dikatakan kesan-kesannya sampai sekarang masih ada di kalangan kaum Muslimin.

Kemudian timbul ikhtilaf berhubungan dengan zakat harta, akhimya diselesaikan dengan Abu Bakar radiya’Llahu ‘anhu meriwayatkan hadits yang maksudnya : “Sesungguhnya para anbiya’ tidak dipusakai,,.setelah itu timbul masalah tentang mereka yang tidak mau menunaikan zakat, setelah itu mereka setuju dengan keputusan Abu Bakar bahwa golongan yang enggan itu akan diperangi. setelah itu mereka sibuk dengan peperangan melawan Tulaihah jika ia mengaku menjadi nabi dan murtad dari agama Islam. Setelah ia lari ke Syam, kemudian kembali dalam zaman Umar kepada agama Islam, ia berjihad bersama Sa’ad bin Abi Waqqas dalam peperangan Qadissiyyah dan ia mati syahid dalam peperangan Nehawand. Kemudian Musliniin sibuk dengan peperangan melawan Musailamah al-Kadhdhab yang mengaku dirinya nabi, serta alAswad bin Zaid’ansi. setelah itu mereka sibuk dengan membunuh mereka yang lain lagi yang murtad keluar dari agama Islam. Kemudian mereka sibuk dengan peperangan melawan kerajaan Romawi Timur dan juga kerajaan Farsia, dan Allah membuka negeri-negeri itu untuk mereka. Pada masa itu mereka berperang berpegang pada satu yaitu tentang bab-bab keadilan Tuhan, Tauhid, al-Wa’d, al-Wa’id, dan lain-lain hal dalam ushuluddin.

Adapun dalam masalah-masalah fiqh ada beberapa terjadi perselisihan pendapat di kalangan mereka misalnya saja keadaan paman menerima pusaka berserta saudara lelaki dan saudara-saudara perempuan serta dengan bapak dan ibu atau serta dengan bapak, demikian seterusnya, tetapi perselisihan atau perbedaan pendapat itu tidak membawa kepada timbulnya kekafiran atau kesesatan di kalangan mereka. Demikianlah keadaannya di zaman pemerintahan Abu Bakar, ‘Umar dan ‘Utsman radiya’Llahu ‘anhum ajma’in.

Kemudian terjadi khilafah di kalangan mereka berhubungan dengan ‘Utsman bin ‘Affan dan  mengenai perkara-perkara yang dituduhkan kepadanya sehingga para muslimin yang tidak senang padanya lalu membunuhnya; kemudian mereka berikhtilaf lagi tentang para pembunuhnya dan mereka yang menghasut manusia supaya menentang itu; demikianlah khilaf itu masih ada sampai zaman selanjutnya, sampailah pada zaman alBaghdadi, dan bisa kita katakan sampai abad kita ini.
Setelah itu terjadi ikhtilaf pula dalam hubungan dengan keadaan ‘Ali bin Abi Talib radiya’Llahu ‘anhu dan mereka yang terlibat dalam peperangan al Jamal, juga tentang kedudukan Mu’awiyah dan mereka yang terlibat dalam peperangan Siffin, serta dua orang hakim yaitu Abu Musa al-Ash’ari dan ‘Amru bin al-’As; ikhtilaf yang melibatkan mereka ini berlanjut sampai ke zaman kemudian, dan kita sekarang bisa mengatakan ia hanya berlanjut sampai hari ini.

Kemudian dalam zaman muta’akhkhirin dari kalangan para Sahabat terjadilah khilafah dari golongan Qadariyah berhubungan dengan Qadar dan istita’ah atau ikhtiar makhluk, yang datang dari Ma’bad al-Juhani dan Ghailan al-Dimashqi, serta Ja’d bin Darham. Mereka yang muta’akhkhirin di kalangan para Sahabat terbebas dari perkara itu semua, seperti ‘Abdullah bin ‘Amr, Jabir bin ‘Abdullah, Abu Hurairah, Ibn ‘Abbas, Anas bin Malik, ‘Abdullah bin Abi Aufa, ‘Uqbah bin ‘Amir al-Juhani dan yang semasa dengan mereka itu. Mereka ini mewasiatkan orang banyak supaya jangan memberi salam kepada golongan Qadariyah dan jangan pergi menyembahyangkan jenazah mereka itu.

Kemudian terjadi ikhtilaf di kalangan golongan Khawarij sehingga mereka berpecah belah menjadi dua puluh golongan, tiap-tiap satu darinya mengkafirkan yang lain. Kemudian terjadilah kepada zaman al-Hassan al-Basri radiya’Llahu ‘anhu khilafah dengan Wasil bin ‘Ata’ dalam masalah Qadar dan masalah manzilah bainal-manzilatain (yaitu kedudukan antara dua kedudukan: antara iman dan kufar); masalah itu menjadi bertambah lagi dengan timbulnya bid’ah dari ‘Amru bin ‘Ubald bin Bab dan keduanya telah disingkirkan oleh alHasan dari majlisnya, Ialu mereka berdua meninggalkan jamaah di Masjid Basrah. Keduanya dan para pengikutnya dipanggil Mu’tazilah karena mereka itu memisahkan diri dari pegangan ummat di mana mereka mendakwakan bahwa orang fasiq dari kalangan Muslimin tidak Mu’min dan juga tidak kafir.

Adapun golongan Rawafid maka yang biasanya dipanggil al-Sababiyah di kalangan mereka menlahirkan bid’ah mereka itu pada zaman ‘Ali bin Abi Talib. Mereka itu dihukum oleh ‘Ali dan Ibn Saba dan dikenakan hukuman pembuangan karena bid’ahnya. Golongan ini tidak termasuk umat Islam karena mereka berpendapat ‘Ali radiya’Llahu ‘anhu sebagai Tuhan. Setelah zaman ‘Ali, golongan Rafidah itu berpecah belah menjadi empat golongan yaitu Zaidiyah, Imamiyah, Kaisaniyah dan golongan Ghulat ( pelampau ). Golongan Zaidiyah juga menjadi pemuka pemuka, satu golongan yang mengkafirkan yang lainnya. Seluruh golongan Ghulat keluar dari umat Islam. Adapun golongan Zaidiyah dan Imamiyah, mereka masih disebut dari golongan Islam (firaq al-Islam) ;

Golongan Bakhkhariyah berpecah belah dan mereka saling kafir mengkafirkan; dan timbul khilafah dari golongan Bakriyah, yaitu dari seorang yang bernama Bakr, dari saudara perempuan ‘Abdul Wahid bin Ziyah, juga timbul khilafah dari golongan Dirariyah dari Dirar bin ‘Amr, dan khilafah al-Jahmiyah dari Jahm bin Safwan. Kemunculan Jahm, Bakr dan Dirar adalah terjadi pada zaman zahir Wasil bin ‘Ata’ dengan kesesatannya.

pada zaman al-Ma’mun al-’Abbasi timbullah seruan Batiniyah dan mereka ini bukanlah dari golongan Islam, bahkan mereka ini adalah dari golongan Majusi. Dan juga muncul pada zaman Muhammad bin Tahir bin ‘Abdullah bin Tahir di Khurasan khilafah al-Karramiyah al-Mujassimah.

Mengenai golongan Zaidiyah dari kalangan Rawafid, yang kuat di kalangan mereka ialah tiga yaitu Janidiyah, Sulaimaniyah juga dipanggil Haririyah dan al-Batriyah. Tiga golongan ini bersepakat tentang imamah Zaid bin ‘Ali bin al-Husain bin ‘Ali bin Abi Talib pada hari kelahirannya yaitu pada zaman Hisham bin ‘Abdul Malik.

Dari golongan Kaisaniyah juga timbul banyak golongan, bagaimanapun akhir nya kembali kepada dua golongan saja. Satunya yang mendakwa bahwa Muhammad bin al-Hanaflyah hidup tidak mati dan mereka menantikan timbul sebagai al-Mahdi yang dinanti-nantikan itu. Satu golongan lagi yang mempercayai imamahnya pada masa hidupnya saja dan bila ia meninggal imamah itu berpindah kepada orang lain.

Golongan Imamiyah yang mufarawah bagi Zaidiyah, Kisa’iyah dan Ghulat, mereka ini menjadi lima belas firqah (golongan) yaitu Muhammadiyah, al-Baqiriyah, alNawisiyah, Shumaitiyah,’Ammariyah, Isma’iliyah, Mubarakiyah, Musawiyah, Qat’iyah dan Ithna ‘Ashariyah, Hishamiyah dari pengikut Hisharn bin al-Hakam, atau dari pengikut Hisham bin Salim al-Jawaliqi,Zharariyah, dari pengikut Zurarah bin U’yun dan Yunusiyah dari pengikut Yunus al-Qummi dan Shaitaniyah dari pengikut Shaitan al-Taq dan Kamiliyah dari pengikut Abu Kamil; beliau inilah yang mengeluarkan kata-kata yang paling keji tentang ‘Ali dan para sahabat yang lain, radiya’Llahu ‘anhum. Inilah dua puluh golongan yang merupakan golongan Rawafid; tiga dari Zaidiyah, dua dari Kaisaniyah dan lima belas dari Imamiyah.

Adapun golongan Ghulat mereka itu yang berpegang kepada ketuhanan Imam-imam mereka dan mengharuskan perkara-perkara yang diharamkan oleh. syara’, dan yang menggugurkan kewajiban perkara-perkara yang wajib dari syariat, seperti Bayyaniyah, Mughiriyah, Janahiyah, Mansuriyah, Khattabiyah dan Hululiyah dan yang mengikuti perjalanan mereka itu. Maka mereka itu bukan dari golongan Islam walaupun mereka itu dikaitkan dengannya.

Adapun golongan Khawarij, jika terjadi perpecahan dalam kalangan mereka, maka mereka menjadi dua puluh golongan yaitu Muhakkimah Ula, Azraqiyah, Najdlyah, Sifriyah, ‘Ajradiyah dan dari ‘Ajradiyah itu berpecah belah menjadi Khazimiyah, Shu’aibiyah, Ma’lumiyah, Majhuliyah, Ma’badiyah, Rashidiyah, Mukarramiyah, Hamziyah, Ibrahimiyah dan Wafiqiyah. Dari golongan lbadiyah timbul perpecahan menjadi Hafsiyah, Harithiyah,Yazidiyah dan para ahli taat yang bukan terhadap Allah. Yazidiyah itu ialah dari kalangan mereka yang mengikuti Ibn Yazid bin Unais dan mereka itu bukan dari golongan Islam oleh karena mereka berpegang kepada pendapat bahwa syari’at Islam menjadi mansukh di akhir zaman dengan adanya nabi yang dibangkitkan dari kalangan orang-orang bukan Arab (al-’Ajam). Demikian juga dari ‘Ajradiyah itu timbul golongan Maimuniyah yang bukan dari golongan Islam karena mereka mengharuskan perkawinan anak perempuan dari anak perempuan dan anak perempuan dari anak lelaki (keponakan) sebagaimana yang diharuskan oleh orang-orang Majusi, walaupun disebutkan bahwa Yazidiyah dan Maimuniyah itu dimasukkan kepada golongan Islam.

Golongan Qadariyah Mu’tazilah yang memisahkan diri mereka dari yang baik, maka mereka berpecah belah menjadi dua puluh golongan, tiap satunya mengkafirkan yang lainnya. Mereka itu ialah golongan lsliyah, ‘Umariyah,Hudhailiyah, Nazzamiyah, Amwariyah, ‘Umariyah, Thumamiyah, Jahiziyah, Hayitiyah,Himariyah, Khayyatiyah, Sahhamiyah dan para pengikut Salih Qabah, Muwaisiyah,Kalblyah, Jubba’iyah, Hashimiyah, dimasukkan kepada Abu Hashim ibn alJubba’i. Mereka itu terdiri dari dua puluh golongan, dua darinya bukan dari golongan Islam yaitu golongan Hayitiyah dan Himariyah.
Zaidiyah pula menjadi pemuka pemukanya, demikian juga Imamiyah dan Ghulat, satu golongan mengkafirkan yang lainnya. Seluruh golongan Ghulat keluar dari umat Islam. Adapun golongan Zaidiyah dan Imamiyah, mereka termasuk dari golongan Islam (firaq al-Islam) ;  Golongan Bakhkhariyah berpecah belah dan mereka saling kafir mengkafirkan; timbul khilafah dari golongan Bakriyah, yaitu dari seorang yang bemama Bakr, dari saudara perempuan ‘Abdul Wahid bin Zlyah, ‘ juga timbul khilafah dari golongan Dirariyah dari Dirar bin ‘Amr, dan khilaf al-Jahmiyah dari Jahm bin Safwan. Kemunculan Jahm, Bakr dan Dirar adalah terjadi pada zaman zahir Wasil bin ‘Ata’ dengan kesesatannya.

Beliau menyatakan bahawa golongan fuqaha’ mereka itu, juga golongan qurra’nya, ahli-ahli haditsnya, golongan ilmu kalamnya, di kalangan ahli abli hadits dari kalangan mereka bermuafakat di atas pegangan yang satu tentang mentauhidkan Tuhan yang menjadikan alam ini, serta sifat-sifatnya, keadilannya, hikmatnya, nama-namanya, dan sifat-sifatnya, juga mereka bermuafakat di dalam bab-bab nubuwwah, juga bab Imamah, mereka juga bermuafakat tentang hukum-hukum di alam akhirat, dan lain-lain, yang terdiri dari masalah-masalah ushuluddin atau pun perkara-perkara dasar dalam agama. Mereka ini hanya berikhtilaf dalam masalah halal haram dari pada perkara-perkara furu’ atau cabang dalam ilmu hukum, dan tidak ada dalam perkara-perkara yang mereka ikhtilafkan itu yang membawa kepada kesesatan atau kefasikan. 

Mereka itulah yang merupakan firqah (golongan ) yang selamat (al-firqah al-najiyah) yang bersepakat dalam berikrar tentang keesaan Tuhan yang menjadikan QidamNya dan Qidam sifat-sifatnya yang Azaliyah dan harus memandangnya dengan tidak ada tashbih dan ta’til; juga mereka bersepakat tentang berikrar beriman terhadap kitab-kitab Allah, para RasuINya dan mereka percaya itu diperkuat dan ditolong dengan Syari’at Islamiyah, dan mereka itu mengharuskan apa yang diharuskan oleh al Quran dan mengharamkan apa yang diharamkan oleh al Qur’an serta pula dengan penjagaan penjagaan dari apa yang sah datangnya dari Sunnah Nabi Muhammad S.A.W., mereka juga bersepakat dalam beriman kepada kebangkitan dan perhimpunan hari akhirat, pertanyaan Munkar dan Nakir, tentang telaga Nabi S.A.W., tentang Timbangan Amal. Maka siapa saja yang beriman dengan ini semua dan tidak mencampur adukkan dengan sesuatu dari bid’ah-bid’ah Khawarij, Rawafid dan Qadariyah serta lain-lain dari kalangan mereka yang mengikuti hawa nafsu mereka sendiri maka tergolonglah ia ke dalam golongan yang selamat, jika takdimya umumnya dalam keadaan demikian itu.

Termasuk ke dalam golongan yang selamat ini ialah jumhur (kelompok ) umat Islam dan golongan terbanyak (al-sawad al-a’zam) yang terdiri dari para pengikut Imam-imam Malik, Shafi'i, Abu Hanifah Auza’i, Thauri dan Daud Zahiri.