BAB II , part 2


Dalam Bughyatu’I-Mustarshidin, disebutkan bahwa yang dikatakan tujuh puluh dua golongan yang sesat itu ialah mereka yang terdiri dari tujuh golongan.

Pertama, kaum Syiah yang terlalu melebihi dan memuja’Ali dan keluarganya; mereka sampai tidak mengakui khalifah-khalifah Abu Bakar, ‘Umar dan ‘Uthman. Mereka ini berpecah belah menjadi dua puluh dua golongan.

Kedua, golongan Khawarij yang terlalu berlebihan dalam membenci Sayyidina ‘Ali radiya’Llahu ‘anhu. Antara mereka ada yang mengkafirkan beliau. Pada pandangan mereka, orang-orang yang melakukan dosa besar menjadi kafir Mereka ini kemudiannya berpecah belah menjadi dua puluh golongan.

Ketiga, kaum Mu’tazilah yang mempunyai pemahaman bahwa Allah tidak mempunyai sifat-sifatnya, dan bahwa manusia melakukan amalnya sendiri dengan bebas merdeka, dan bahwa Tuhan tidak bisa dilihat dalam surga, dan bahwa orang-orang yang melakukan dosa besar diletakkan antara surga dan neraka; mereka juga beranggapan bahwa Mi’raj Nabi S.A.W. adalah dengan roh saja. Kemudian mereka ini berpecah belah menjadi dua puluh golongan.

Keempat ialah kaum Murji’ah yang mempunyai pegangan bahwa siapa saja yang melakukan dosa, maka itu tidak mendatangkan mudharat jika ia sudah beriman, sebagaimana katanya jika seseorang itu kafir maka kebajikan yang bagaimanapun dilakukan tidak memberi manfaat juga. Mereka ini kemudian berpecah belah menjadi lima golongan.

Kelima ialah golongan Najjariyah yang mempunyai pegangan bahwa perbuatan manusia dijadikan oleh Tuhan dan Tuhan tidak mempunyai sifat sifat. Mereka berpecah belah menjadi tiga aliran.

Keenam ialah kaum Jabbariyah yang mempunyai keyakinan bahwa manusia tidak berdaya apa-apa; usaha atau ikhtiar manusia tidak ada sama sekali. Mereka terdiri dari satu golongan saja.

Ketujuh ialah kaum Musyabbihah, yaitu kaum yang mempunyai pegangan bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat sebagaimana yang ada pada manusia, umpamanya Tuhan ada tangan, ada kaki, duduk atas ‘Arsy, naik tangga dan turun tangga dan sebagainya. Mereka terdiri dari satu golongan saja. Dengan itu maka jumlah mereka semua adalah tujuh puluh dua golongan.

Golongan yang selamat ialah golongan yang satu saja yaitu golongan Ahli’sSunnah wal-Jama’ah.

Sebagai reaksi dari apa yang telah timbul itu yang membawa kepada timbulnya berbagai firqah (golongan) itu, maka timbullah golongan Ahli’s-Sunnah wal-Jama’ah yang diketuai oleh dua orang ulama’ besar dalam Ushuluddin iaitu Syaikh Abu’l Hasan al-Ash’ari radiya’Llahu ‘anhu dan Syaikh Abu Mansur al-Maturidi radiya’Llahu ‘anhu. Dari segi ‘aqidah seseorang itu bisa dipanggil Sunni saja, yang menunjukkan bahwa ia hanyalah tergolong ke dalam golongan Ahli’s-Sunnah; ataupun ia boleh dipanggil Asy’ari atau Asya’irah.

Abu-Hasan al-Asy’ari lahir di Basrah tahun 260 Hijrah dan meninggal dunia di Basrah tahun 324 Hijrah. Mula-mulanya beliau berpegang kepada pemahaman Mu’tazilah sebagaimana diajarkan oleh gurunya al-Jubba’i. Kemudian beliau meninggalkan aliran itu setelah mendapat hidayah dari Allah. diantara kitab-kitab yang dihasilkannya ialah al-Ibanah fi Usuli’d-Diyanah, Maqalat al-Islamiyyin dan al-Mujaz.
Antara para ulama besar yang menyebarkan aliran al-Asy’ari ini ialah Imam Abu Bakar al-Qaffal (men. 365 Hijrah), Abu Ishaq al-Isfara’ylni (men. 411 Hijrah), Imam Hafiz al-Baihaqi (wafat 458 Hijrah), Imam al-Haramain, al-Juwaini, guru pada Imam al-Ghazali (wafat 460 Hijrah), Imam al-Qusyairi (wafat 465 Hijrah), Imam a]-Baqillani, dengan kitab at-Tamhidnya yang terkenal (wafat 403 Hijrah), Imam al-Ghazali (wafat 505 Hijrah), Imam Fakhruz-Razi (meninggal 606 Hijrah), Imam ‘Izzud-Din ibn ‘Abdiss-Salam (men. 606 Hijrah) yang semuanya pendukung aliran Ahli’s-Sunnah sebagaimana yang diuraikan oleh Imam Abdul Hasan al-Asy’ari.

pada masa selanjutnya para ulama’ yang mendukung paham al-Asy’ari ini ialah diantaranya seperti Syaikhul-Islam Syaikh Abdullah asy-Syarqawi (men. 1227 Hijrah), Syaikh Ibrahim al-Bajuri (men. 1272 Hijrah), Syaikh Nawawi a]-Bantani (men. 1315 Hijrah) dengan kitab tauhidnya Tljanu’d-Darari, FathulMajid, antara lainnya Syaikh Zainul ‘Abidin bin Muhammad al-Fatani dengan ‘Aqidatun-Najin, Syaikh Husain al-Tarabalasi dengan al-Husun alHamidiyahnya yang terkenal itu.

Imam Abu Mansur al-Maturidi radiya’Llahu ‘anhu juga dianggap sebagal pengasas ushuluddin di kalangan Ahli’s-Sunnah wal-Jama’ah, dan namanya biasa disebut-sebut berkali dengan nama Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari. Beliau dilahirkan di kampung Maturid di Samarqand, Asia Tengah dan meninggal di sana juga pada tahun 333 Hijrah, sepuluh tahun setelah meninggalnya Imam Abu Hasan al-Asy’ari. Beliau mempertahankan pegangan Ahli’s-Sunnah dalam menghadapi berbagai pemahaman yang batil pada zamannya sebagaimana pula keadaannya dengan Imam Abul Hasan al-Asy’ari. Oleh karena jasanya dalam mengemukakan pandangan Ahli’s-Sunnah wal-Jama’ah sebagaimana yang disebutkan dalam Syarah Ihya’ oleh Murtada az-Zabidi, jika dikatakan Ahli’s-Sunnah wal-Jama’ah, maka yang dimaksudkan ialah aliran yan diajarkan oleh Imam Abul Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al Maturidi.