Bab III , part 2


Bagi Ahli’s-Sunnah, ilmu manusia dan ilmu hewan hewan terdiri dari tiga jenis ilmu.

Pertama ilmu yang badihi yaitu secara tersendiri tanpa dipikirkan. 
Kedua ilmu yang bersifat hissi yaitu melalui pengalaman pancaindera dan 
ketiga ilmu istidlali yaitu yang datang dengan manusia mengambil dalil dengan menggunakan akalnya. Mereka menyatakan bahwa siapa saja yang menolak ilmu-ilmu yang badihi ataupun ilmu yang hissiyah yang datang melalui pengalaman pancaindera yang lima, itu adalah orang yang sombong. Adapun orang yang tidak menerima ilmu-ilmu yang bersifat nazariah dan yang datang dengan pemikiran dengan mengambil dalil, ia perlu diteliti. jika itu terdiri dari orang yang menolak dan mengingkari pemahaman dengan akal tentang ilmu-ilmu yang boleh dipahami dengan akal langsung, maka ia adalah kafir mulhid, hukumnya adalah seperti hukum Dahriyah (atau pemahaman yang tidak percaya kepada Tuhan dan mengithbatkan wujud alam sebagi benda saja) karena pegangan mereka bahwa alam ini abadi, dan menjadikan Tuhan yang menjadikan tambahannya lagi dengan pegangan mereka maka membatalkan semua agama-agama.

Adapun seseorang yang berpegang kepada kepemahaman akal dalam perkara perkara yang bisa dipahami dengan akal, dan ia tidak menerima qiyas dalam masalah furu’ hukum Syariat, seperti ahli mazhab Zahiriyah,maka ia tidak menjadi kafir dengan mengingkari qiyas secara syar’i itu. Golongan Ahli’s-Sunnah menerima pancaindera sebagai sebab akibat pengetahuan yang diakui dan melalui pancaindera adalah diterima.

Golongan Ahli’s-Sunnah menyatakan juga bahwa kabar mutawatir adalah satu jalan ilmu yang pokok dan benda yang datang melalui sebab itu adalah sahih, misalnya tentang sahnya ada negeri yang belum dikunjungi oleh seseorang , tetapi ia dengar berita mutawatir tentangnya. Itu adalah sebagaimana ilmu kita tentang adanya para anbiya’ dan raja-raja sebelum zaman kita. Adapun tentang benarnya pengakuan para anbiya’tentang pangkat kenabian mereka maka itu diketahui oleh kita dengan hujah-hujah ilmu secara nazariah.

Golongan Ahli’s-Sunnah menyatakan bahwa hadits yang melazimkan kita beramal dengannya adalah tiga jenis: mutawatir, ahad dan yang menengah antara keduanya. Kabar mutawatir yang mustahil itu hanya dikira kirakan adalah berkedudukan sebagai ilmu yang pokok dan contohnya ialah seperti berita tentang negeri-negeri yang belum kita kunjungi,dan ilmu yang kita tahu tentang raja-raja dan nabi-nabi serta generasi-generasi sebelum kita. Dengan itulah seseorang mengetahui kedua orang tuanya dan dengan keduanya ia bisa diketahui.

Adapun kabar ahad maka jika sah isnadnya dan matannya bukan menasabah dan bukan mustahil pada akal, maka ia hanya wajib diamalkan; dan berkedudukan sebagal kesaksian orang yang adil di sisi hakim bahwa dia wajib memutuskan hukum dengannya pada zahir walaupun ia tidak mengetahui tentang benamya yaitu dalam kesaksian. Dan dengan kabar jenis inilah maka para fuqaha’memutuskan kebanyakan dari furu’hukum-hukum Syariah dalam ibadat, mu’amalat, dan lain-lain serta bab halal haram. Dan golongan Ahli’sSunnah menganggap sesat kepada mereka yang menggugurkan kewajiban beramal soleh dengan kabar ahad dari kalangan Rafidah, Khawarij dan lain-lain dari golongan sesat.

Adapun kabar mustafid yang duduk di tengah diantara yang mutawatir dan yang ahad, maka ia hanya seperti mutawatir dalam wajib menuntut ilmu dengannya dan beramal soleh dengannya; tetapi berlainan dari yang mutawatir karena ilmu yang datang darinya adalah ilmu yang muktasab / nazari, adapun ilmu yang mutawatir adalah diperkirakan pokok tidak muktasab. Dan kabar jenis ini ada beberapa bagian. Termasuk ke dalam jenis tentang kabar para anbiya’. jenis ini termasuk juga kabar yang tersebar di kalangan manusia yang tidak sahih, mereka itu melakukan kebohongan, jika sesuatu berita dikabarkan di kalangan mereka. dan mereka tidak mengatakan bohong, maka kita ketahui bahwa orang itu berkata benar. Dengan kabar cara inilah kita ketahui tentang mu’jizat-mu’jizat Nabi kita S.A.W. mengenai terbelahnya bulan, bertasbihnya anak batu dalam tangannya, menangisnya pelepah tamar dan sebagainya. Demikian juga kabar-kabar mustafidah antara imam-imam hadits dan fiqih yang mereka ijma’kan bahwa ia adalah sahih seperti hadits hadits tentang Syafa’at, Hisab, Haud, Shirat, Mizan, azab kubur, pertanyaan Munkar dan Nakir.

Dengan Demikian kabar mustafidah dalam banyak hukum-hukum fiqih seperti nisab zakat, had bagi yang meminum arak, hadits hadits tentang mengusap khuf (sepatu), tentang rajam, dan lain lain, dari apa yang diijma’kan oleh fuqaha’. Maka golongan Ahli’s-Sunnah menganggap sesat kepada mereka yang tidak memahami dengan hal-hal itu, seperti kaum-kaum sesat yang mengikuti hawa nafsu mereka. Contohnya ialah kesesatan kaum Khawarij yang menolak rajam, dan sesatnya kaum Najdiah yang mengingkari hukuman karena meminum arak dan mengingkari harusnya mengusap khuf (sepatu); dan menjadi kafir terhadap mereka yang mengingkari melihat Allah di Akhirat dan yang mengingkari Syafaat dan azab kubur.

Demikian juga Ahli’s-Sunnah menganggap sesat kepada kaum Khawarij yang memotong tangan pencuri yang mencuri sedikit atau banyak dari tempat tersimpan atau tidak, sebagaimana mereka menyesatkan golongan yang menolak kabar mustafid, demikian juga terhadap mereka yang menganggap sesat segolongan yang memansukhkan hukum kabar yang disepakati fuqaha’ golongan Ra’y dan sebagaimana hadits yang mereka anggap kesesatan Rafidah yang mengharuskan kawin mut’ah dan hal ini seharusannya sudah dimansukhkan.

Golongan Ahli’s-Sunnah bersepakat bahwa Allah Ta’ala mewajibkan kepada para hambanya supaya mencapai ma’rifat terhadapnya, dan juga mewajibkan kepada mereka ma’rifat terhadap rasulnya, kitabnya, serta beramal soleh dengan apa yang ditunjukkan oleh Kitab dan Sunnah.
Juga golongan Ahli’s-Sunnah menganggap kafir siapa saja yang menegaskan dari kaum Qadariyah dan Rafidah – bahwa Allah tidak mewajibkan ma’rifat terhadapnya, sebagaimana yang dipegang oleh Thumamah dan alJahiz, dan satu golongan dari Rafidah. Mereka bersepakat bahwa tiap tiap ilmu tumbuhan dan hewani kita harus mengetahui tentangnya. Dan mereka menganggap kafir siapa saja yang menegaskan dari kaum Mu’tazilah, bahwa ma’rifat terhadap Allah di Akhirat adalah dihasilkan dari muktasabah dengan tidak seharusnya kepada ma’rifatnya.

Mereka juga menganggap kafir kepada al-Nazzam yang mengingkari hujjah ijma’ dan hujjah dari riwayat mutawatir. Mereka juga menghukumi kafir bagi orang yang berpendapat bahwa kemungkinan seluruh umat Islam ber ijma’ dalam kesesatan (ijtima’al-ummah ‘ala al-dalalah), karena ia juga berpendapat seharusnya mereka yang terlibat dalam riwayat yang mutawatir itu bermuafakat dan mereka mengira ngira sesuatu yang bohong. Inilah penjelasan tentang apa yang disepakati oleh Ahli’s-Sunnah dalam hubungan dengan rukun yang pertama.

Dasar yang pertama ialah pegangan Ahii’s-Sunnah tentang barunya alam ini. Mereka telah mengijma’kan bahwa alam itu adalah segala sesuatu yang selain dari Allah, mereka mengijma’kan bahwa sesuatu yang selain dari Allah dan selain dari sifat-sifatnya yang azali adalah makhiuk yang dijadikan serta diciptakan oleh Allah. Mereka juga bersepakat bahwa Tuhan yang menjadikan itu bukan makhluk, bukan yang diciptakan dan bukan dari jenis alam ini dan bukan dari jenis sesuatu dari alam ini.
     Mereka bersepakat lagi bahwa baglan bagian dari alam ini ada dua yaitu jauhar dan arad ( Jawahir dan a’arad), khilafah pendapat mereka yang menolak a’arad.
Mereka bersepakat bahwa setiap jauhar adalah unsur yang tidak bosa terpecah lagi. Dan mereka menganggap kafir terhadap al-Nazzam dan ahli-ahli falsafah yang menganggap bosa terpecahnya tiap-tiap unsur dari unsur unsur benda dengan tidak berkesudahan dan ini diperkirakan berlawanan dengan ayat yang maksud nya :       “Dan Dia (Allah) menghitung segala sesuatu satu persatu.” (Surah al-Jin;28)

     Golongan Ahli’s-Sunnah juga menyebutkan para malaikat, jin dan setan sebagai mahluk mahluk yang ada di alam ini, dan mereka menganggap kafir terhadap mereka yang menolak yang demikian itu dari kaum ahli falsafah dan golongan Batiniyah.
Kemudian kenyataan ini di ikuti dengan beberapa kenyataan tentang sesatnya golongan ahli falsafah dan Mu’tazilah dalam hubungan dengan alam benda dan konsep alam.
Mereka juga menganggap kafir kepada Abul-Hudhail yang berpegang kepada bahwa ni’mat surga dan azab neraka itu terputus dan mereka juga menganggap kafir kepada golongan Jahmiyah yang berpendapat bahwa surga dan neraka itu tidak kekal.

Dasar yang kedua ialah berhubungan dengan Tuhan yang menciptakan alam serta Sifat SifatNya. Dan segala sesuatu yang baru itu seharusnya ada yang menjadikan dan mengadakannya dan mereka berpegang kepada bahwa Tuhan yang menjadikan alam ini Dialah yang menjadikan jisim jisim dan arad arad. Dan Mereka jiga menganggap kafir kepada Mu’ammar dan para pengikutnya dari kaum Qadariyah yang berpendapat bahwa Allah tidak menjadikan sesuatu dari arad arad. la hanya menjadikan jisim jisim.
     Diantaranya yang disebutkan bahwa golongan Ahli’s-Sunnah bersepakat bahwa Tunan tidak menempati suatu tempat dan tidak melintasi ruang dan waktu, khilafah golongan yang mengatakan Tuhan bersemayam diatas ’Arsy, dan juga golongan Syihamiyah dan Karramiyah. Ahli’s-Sunnah juga berijma’ menolak adanya kecacatan, kesedihan, kesakitan dan kelezatan dari Tuhan, serta gerakan dan diam, khilafah pendapat golongan Hisyamiyah dari golongan Rafidah yang menganggap harus ada gerakan pada Tuhan.
     Diantaranya yang dinyatakan bahwa Ahli’s-Sunnah berijma’ bahwa Allah Maha Kaya tidak berkehendak kepada makhluknya, dan la tidak mendapat manfaat dari makhluk yang dijadikannya itu dan juga la tidak menghindar kemudaratan dari DiriNya dengan menjadikan makhluknya itu. Inilah khilafah pegangan Majusi yang mennyatakan bahwa Allah menjadikan para malaikat untuk menghindari dari kesakitan pada DiriNya yang datang dari setan dan penolong-penolongnya.

Ahli’s-Sunnah juga berijma’ bahwa Tuhan yang menjadikan alam itu tunggal, khilafah pendapat yang mengatakan Tuhan itu dua yang sedia waktu, satunya cahaya, Nur dan satu lagi ialah kegelapan Zulmah (Yazdan dan Ahriman di kalangan Majusi). Pedoman tentang keesaan Tuhan ini berlawanan dengan pedoman golongan Ghulat di kalangan Rafidah yang menyatakan bahwa Allah menyerahkan penguasaan alam kepada’Ali yang merupakan Khaliq yang kedua.

Dasar ketiga , berhubungan dengan sifat sifat yang ada pada Zat Allah, Ahli’s Sunnah berpedoman kepada bahwa sesungguhnya Ilmu Allah, QudratNya, HayatNya, IradatNya, Sama’Nya dan BasarNya, serta KalamNya adalah sifat-sifatnya yang azali serta abadi. Golongan Mu’tazilah menyatakan bahwa tidak ada Qudrat, Ilmu, Hayat bagi Allah Ta’ala dan la tidak dapat dilihat di Akhirat.

Ahli’s-Sunnah berijma’ bahwa Qudrat Allah yang terjadi atas segala yang ditakdirkan itu semuanya sebagai satu qudrat yang dengannya ditakdirkan semua yang ditakdirkannya itu. Ini diikuti dengan kesesatan kesesatan Mu’tazilah yang berhubungan dengan hal ini.
     Diantaranya dinyatakan bahwa Ahli’s-Sunnah berijma’ bahwa Ilmu Allah adalah satu yang dengannya itu la mengetahui segala sesuatu dihitung secara satu persatu. Satu golongan dari Rafidah mengatakan bahwa Allah tidak mengetahui sesuatu itu sebelumnya ada dan Zurarah bin Kyun dan para pengikutnya di kalangan Rafidah menyatakan bahwa Ilmu Allah, QudratNya, HayatNya, dan lain-lain sifat yang baru bahwasanya ia tidak Hidup, tidak Berkuasa dan tidak Mengetahui melainkan la hanya menjadikan untuk DiriNya Hayat, Qudrat,Ilmu, Iradat, Sama’, Basar.
    Golongan Ahli’-Sunnah berijma’ bahwa Sifat Sama’ dan Basar Tuhan meliputi segala yang didengar dan segala yang dilihat dan Tuhan senantiasa melihat bagi DiriNya dan Mendengar bagi Kalam DiriNya. Ini yang diikuti dengan khilafah Mu’tazilah.
Golongan Ahli’s-Sunnah berijma’ bahwa Allah bisa dilihat oleh orang-orang yang beriman di Akhirat. Ini adalah berlawanan dengan pendapat Qadariyah dan Jahmiyah yang menganggap bahwa mustahil Allah bisa dilihat di Akhirat.
     Diantaranya dinyatakan bahwa Ahli’s-Sunnah berijma’ bahwa Iradat Allah adalah Masyi’ah atau KehendakNya dan mereka berijma’ bahwa KehendakNya lulus dalam apa yang dikehendakinya mengikuti IlmuNya. Ini diikuti dengan golongan yang menentanginya, juga diikuti dengan kenyataan tentang sifat sifat yang lain, seperti hayat, tanpa Roh, Sifat Kalam dan khilafah golongan yang berpendirian berbeda.

Dasar yang keempat tentang nama-nama Allah yang diambil dari al Qur’an dan as Sunnah yang sahih.
Dasar kelima tentang keadilan Allah. yang Dinyatakan dengan pendiri Ahli’s-Sunnah, kemudian diikuti dengan khilafah golongan yang berbeda pedoman darinya.
Dasar keenam tentang nubuwwah dan risalah, perbedaan antara nabi dan rasul; karomah, kedudukan para malaikat dengan para anbiya’diikuti dengan khilaahf kaum-kaum yang menentang dengan pedoman Ahli’s-Sunnah.
Dasar ketujuh berhubungan dengan mu’jizat dan karomah; mu’jizat yang dihubungkan dengan nubuwwah, karomah dihubungkan dengan aullya’ diikuti dengan khilafah mereka yang menentang dengan pedoman Ahli’s-Sunnah.
Dasar kedelapan berhubungan dengan rukun-rukun Islam dari syahadah sampai kepada rukun menunaikan haji. Diikuti dengan pedoman kaum-kaum yang berlawanan dengannya.
Dasar kesembilan berhubungan dengan perintah dan larangan dan hukum lima; wajib, haram, sunah, makruh, mubah. Diikuti dengan pedoman kaum yang menyalahinya.
Dasar kesepuluh tentang fana’nya sekalian hamba Allah dan hukum terhadap mereka dalam alam abadi, alam barzah, padang mahsyar Sirat, Mizan, Syafa’ah.
Dasar kesebelas tentang khjlafah dan Imamah. Khllafah diwajibkan kepada umat untuk melakukan tugas tugas tertentu. ‘Aqd Imamah; diikuti dengan khilafah kaum-kaum yang menentangnya, kedudukan Khulafa’ al-Rashidin menurut urut khilafah mereka, diikuti dengan khilafah golongan yang berbeda pedoman darinya.
Dasar kedua belas berhubungan dengan iman, Islam, tasdiq dan ma’rifat. Diikuti dengan khilaah pedoman yang berbeda dengannya.
Dasar ketiga belas berhubungan dengan auliya’, imam imam dan para malaikat, serta ajaran tentang ismah. Diikuti dengan khilafah kaum-kaum yang berbeda faham dengannya.
Dasar keempat belas, hukum tentang musuh musuh Islam, satu diantara mereka yang ada sebelum lahir Islam, dan kedua mereka yang lahir dalam masa Islam.

PENUTUP
Inilah diantara apa yang bisa dipaparkan dalam hubungan dengan konsep Ahli’s-Sunnah wal-Jama’ah serta sedikit banyak tentang perkembangan yang terjadi dalam sejarah perkembangannya. Walaupun dalam bentuk konsep yang akhimya itu kelihatan termasuk didalamnya terdapat segi-segi sejarah umat ini, hakekat ajaran dan amalan Ahli’s-Sunnah adalah merupakan hakekat yang telah ada pada zaman permulaan Islam. Perkembangannya itu merupakan sesuatu sebagai deployment, suatu pernyataan dirinya pada waktu yang akan datang, sebagaimana intinya adalah penyataan diri bagi hakekatnya yang ada dalam munculnya itu. Dalam konsep Ahli’s-Sunnah wal-Jama’ah ini terletak untuk mempertimbangkan dalam penerimaan atau penolakan segala sesuatu yang berhubungan dengan pedoman dan aktivitas keagamaan.