Bagi Ahli’s-Sunnah, ilmu manusia dan ilmu hewan hewan terdiri dari tiga jenis ilmu.
Pertama ilmu
yang badihi yaitu secara tersendiri tanpa dipikirkan.
Kedua ilmu yang bersifat
hissi yaitu melalui pengalaman pancaindera dan
ketiga ilmu istidlali yaitu yang
datang dengan manusia mengambil dalil dengan menggunakan akalnya. Mereka
menyatakan bahwa siapa saja yang menolak ilmu-ilmu yang badihi ataupun ilmu
yang hissiyah yang datang melalui pengalaman pancaindera yang lima, itu adalah
orang yang sombong. Adapun orang yang tidak menerima ilmu-ilmu yang bersifat
nazariah dan yang datang dengan pemikiran dengan mengambil dalil, ia perlu
diteliti. jika itu terdiri dari orang yang menolak dan mengingkari pemahaman
dengan akal tentang ilmu-ilmu yang boleh dipahami dengan akal langsung, maka ia
adalah kafir mulhid, hukumnya adalah seperti hukum Dahriyah (atau pemahaman
yang tidak percaya kepada Tuhan dan mengithbatkan wujud alam sebagi benda saja)
karena pegangan mereka bahwa alam ini abadi, dan menjadikan Tuhan yang
menjadikan tambahannya lagi dengan pegangan mereka maka membatalkan semua
agama-agama.
Adapun seseorang yang berpegang
kepada kepemahaman akal dalam perkara perkara yang bisa dipahami dengan akal,
dan ia tidak menerima qiyas dalam masalah furu’ hukum Syariat, seperti ahli
mazhab Zahiriyah,maka ia tidak menjadi kafir dengan mengingkari qiyas secara
syar’i itu. Golongan Ahli’s-Sunnah menerima pancaindera sebagai sebab akibat
pengetahuan yang diakui dan melalui pancaindera adalah diterima.
Golongan Ahli’s-Sunnah menyatakan
juga bahwa kabar mutawatir adalah satu jalan ilmu yang pokok dan benda yang
datang melalui sebab itu adalah sahih, misalnya tentang sahnya ada negeri yang
belum dikunjungi oleh seseorang , tetapi ia dengar berita mutawatir tentangnya.
Itu adalah sebagaimana ilmu kita tentang adanya para anbiya’ dan raja-raja
sebelum zaman kita. Adapun tentang benarnya pengakuan para anbiya’tentang
pangkat kenabian mereka maka itu diketahui oleh kita dengan hujah-hujah ilmu
secara nazariah.
Golongan Ahli’s-Sunnah menyatakan
bahwa hadits yang melazimkan kita beramal dengannya adalah tiga jenis:
mutawatir, ahad dan yang menengah antara keduanya. Kabar mutawatir yang mustahil
itu hanya dikira kirakan adalah berkedudukan sebagai ilmu yang pokok dan
contohnya ialah seperti berita tentang negeri-negeri yang belum kita
kunjungi,dan ilmu yang kita tahu tentang raja-raja dan nabi-nabi serta
generasi-generasi sebelum kita. Dengan itulah seseorang mengetahui kedua orang
tuanya dan dengan keduanya ia bisa diketahui.
Adapun kabar ahad maka jika sah
isnadnya dan matannya bukan menasabah dan bukan mustahil pada akal, maka ia
hanya wajib diamalkan; dan berkedudukan sebagal kesaksian orang yang adil di
sisi hakim bahwa dia wajib memutuskan hukum dengannya pada zahir walaupun ia
tidak mengetahui tentang benamya yaitu dalam kesaksian. Dan dengan kabar jenis
inilah maka para fuqaha’memutuskan kebanyakan dari furu’hukum-hukum Syariah
dalam ibadat, mu’amalat, dan lain-lain serta bab halal haram. Dan golongan
Ahli’sSunnah menganggap sesat kepada mereka yang menggugurkan kewajiban beramal
soleh dengan kabar ahad dari kalangan Rafidah, Khawarij dan lain-lain dari
golongan sesat.
Adapun kabar mustafid yang duduk
di tengah diantara yang mutawatir dan yang ahad, maka ia hanya seperti
mutawatir dalam wajib menuntut ilmu dengannya dan beramal soleh dengannya;
tetapi berlainan dari yang mutawatir karena ilmu yang datang darinya adalah
ilmu yang muktasab / nazari, adapun ilmu yang mutawatir adalah diperkirakan
pokok tidak muktasab. Dan kabar jenis ini ada beberapa bagian. Termasuk ke
dalam jenis tentang kabar para anbiya’. jenis ini termasuk juga kabar yang
tersebar di kalangan manusia yang tidak sahih, mereka itu melakukan kebohongan,
jika sesuatu berita dikabarkan di kalangan mereka. dan mereka tidak mengatakan
bohong, maka kita ketahui bahwa orang itu berkata benar. Dengan kabar cara
inilah kita ketahui tentang mu’jizat-mu’jizat Nabi kita S.A.W. mengenai
terbelahnya bulan, bertasbihnya anak batu dalam tangannya, menangisnya pelepah
tamar dan sebagainya. Demikian juga kabar-kabar mustafidah antara imam-imam
hadits dan fiqih yang mereka ijma’kan bahwa ia adalah sahih seperti hadits
hadits tentang Syafa’at, Hisab, Haud, Shirat, Mizan, azab kubur, pertanyaan
Munkar dan Nakir.
Dengan Demikian kabar mustafidah
dalam banyak hukum-hukum fiqih seperti nisab zakat, had bagi yang meminum arak,
hadits hadits tentang mengusap khuf (sepatu), tentang rajam, dan lain lain,
dari apa yang diijma’kan oleh fuqaha’. Maka golongan Ahli’s-Sunnah menganggap
sesat kepada mereka yang tidak memahami dengan hal-hal itu, seperti kaum-kaum
sesat yang mengikuti hawa nafsu mereka. Contohnya ialah kesesatan kaum Khawarij
yang menolak rajam, dan sesatnya kaum Najdiah yang mengingkari hukuman karena
meminum arak dan mengingkari harusnya mengusap khuf (sepatu); dan menjadi kafir
terhadap mereka yang mengingkari melihat Allah di Akhirat dan yang mengingkari
Syafaat dan azab kubur.
Demikian juga Ahli’s-Sunnah
menganggap sesat kepada kaum Khawarij yang memotong tangan pencuri yang mencuri
sedikit atau banyak dari tempat tersimpan atau tidak, sebagaimana mereka
menyesatkan golongan yang menolak kabar mustafid, demikian juga terhadap mereka
yang menganggap sesat segolongan yang memansukhkan hukum kabar yang disepakati
fuqaha’ golongan Ra’y dan sebagaimana hadits yang mereka anggap kesesatan
Rafidah yang mengharuskan kawin mut’ah dan hal ini seharusannya sudah
dimansukhkan.
Golongan Ahli’s-Sunnah bersepakat
bahwa Allah Ta’ala mewajibkan kepada para hambanya supaya mencapai ma’rifat
terhadapnya, dan juga mewajibkan kepada mereka ma’rifat terhadap rasulnya,
kitabnya, serta beramal soleh dengan apa yang ditunjukkan oleh Kitab dan
Sunnah.
Juga golongan Ahli’s-Sunnah
menganggap kafir siapa saja yang menegaskan dari kaum Qadariyah dan Rafidah –
bahwa Allah tidak mewajibkan ma’rifat terhadapnya, sebagaimana yang dipegang
oleh Thumamah dan alJahiz, dan satu golongan dari Rafidah. Mereka bersepakat
bahwa tiap tiap ilmu tumbuhan dan hewani kita harus mengetahui tentangnya. Dan
mereka menganggap kafir siapa saja yang menegaskan dari kaum Mu’tazilah, bahwa
ma’rifat terhadap Allah di Akhirat adalah dihasilkan dari muktasabah dengan
tidak seharusnya kepada ma’rifatnya.
Mereka juga menganggap kafir
kepada al-Nazzam yang mengingkari hujjah ijma’ dan hujjah dari riwayat
mutawatir. Mereka juga menghukumi kafir bagi orang yang berpendapat bahwa
kemungkinan seluruh umat Islam ber ijma’ dalam kesesatan (ijtima’al-ummah ‘ala
al-dalalah), karena ia juga berpendapat seharusnya mereka yang terlibat dalam
riwayat yang mutawatir itu bermuafakat dan mereka mengira ngira sesuatu yang
bohong. Inilah penjelasan tentang apa yang disepakati oleh Ahli’s-Sunnah dalam
hubungan dengan rukun yang pertama.
Dasar yang pertama ialah pegangan Ahii’s-Sunnah tentang barunya
alam ini. Mereka telah mengijma’kan bahwa alam itu adalah segala sesuatu yang
selain dari Allah, mereka mengijma’kan bahwa sesuatu yang selain dari Allah dan
selain dari sifat-sifatnya yang azali adalah makhiuk yang dijadikan serta
diciptakan oleh Allah. Mereka juga bersepakat bahwa Tuhan yang menjadikan itu
bukan makhluk, bukan yang diciptakan dan bukan dari jenis alam ini dan bukan
dari jenis sesuatu dari alam ini.
Mereka bersepakat lagi bahwa baglan
bagian dari alam ini ada dua yaitu jauhar dan arad ( Jawahir dan a’arad),
khilafah pendapat mereka yang menolak a’arad.
Mereka bersepakat bahwa setiap
jauhar adalah unsur yang tidak bosa terpecah lagi. Dan mereka menganggap kafir
terhadap al-Nazzam dan ahli-ahli falsafah yang menganggap bosa terpecahnya
tiap-tiap unsur dari unsur unsur benda dengan tidak berkesudahan dan ini
diperkirakan berlawanan dengan ayat yang maksud nya : “Dan
Dia (Allah) menghitung segala sesuatu satu persatu.” (Surah al-Jin;28)
Golongan Ahli’s-Sunnah juga
menyebutkan para malaikat, jin dan setan sebagai mahluk mahluk yang ada di alam
ini, dan mereka menganggap kafir terhadap mereka yang menolak yang demikian itu
dari kaum ahli falsafah dan golongan Batiniyah.
Kemudian kenyataan ini di ikuti
dengan beberapa kenyataan tentang sesatnya golongan ahli falsafah dan
Mu’tazilah dalam hubungan dengan alam benda dan konsep alam.
Mereka juga menganggap kafir
kepada Abul-Hudhail yang berpegang kepada bahwa ni’mat surga dan azab neraka
itu terputus dan mereka juga menganggap kafir kepada golongan Jahmiyah yang
berpendapat bahwa surga dan neraka itu tidak kekal.
Dasar yang kedua ialah berhubungan dengan Tuhan yang
menciptakan alam serta Sifat SifatNya. Dan segala sesuatu yang baru itu
seharusnya ada yang menjadikan dan mengadakannya dan mereka berpegang kepada
bahwa Tuhan yang menjadikan alam ini Dialah yang menjadikan jisim jisim dan
arad arad. Dan Mereka jiga menganggap kafir kepada Mu’ammar dan para pengikutnya
dari kaum Qadariyah yang berpendapat bahwa Allah tidak menjadikan sesuatu dari
arad arad. la hanya menjadikan jisim jisim.
Diantaranya yang
disebutkan bahwa golongan Ahli’s-Sunnah bersepakat bahwa Tunan tidak menempati
suatu tempat dan tidak melintasi ruang dan waktu, khilafah golongan yang
mengatakan Tuhan bersemayam diatas ’Arsy, dan juga golongan Syihamiyah dan
Karramiyah. Ahli’s-Sunnah juga berijma’ menolak adanya kecacatan, kesedihan,
kesakitan dan kelezatan dari Tuhan, serta gerakan dan diam, khilafah pendapat
golongan Hisyamiyah dari golongan Rafidah yang menganggap harus ada gerakan
pada Tuhan.
Diantaranya yang dinyatakan bahwa Ahli’s-Sunnah berijma’
bahwa Allah Maha Kaya tidak berkehendak kepada makhluknya, dan la tidak
mendapat manfaat dari makhluk yang dijadikannya itu dan juga la tidak
menghindar kemudaratan dari DiriNya dengan menjadikan makhluknya itu. Inilah
khilafah pegangan Majusi yang mennyatakan bahwa Allah menjadikan para malaikat
untuk menghindari dari kesakitan pada DiriNya yang datang dari setan dan
penolong-penolongnya.
Ahli’s-Sunnah juga berijma’ bahwa
Tuhan yang menjadikan alam itu tunggal, khilafah pendapat yang mengatakan Tuhan
itu dua yang sedia waktu, satunya cahaya, Nur dan satu lagi ialah kegelapan
Zulmah (Yazdan dan Ahriman di kalangan Majusi). Pedoman tentang keesaan Tuhan
ini berlawanan dengan pedoman golongan Ghulat di kalangan Rafidah yang
menyatakan bahwa Allah menyerahkan penguasaan alam kepada’Ali yang merupakan
Khaliq yang kedua.
Dasar ketiga , berhubungan dengan sifat sifat yang ada
pada Zat Allah, Ahli’s Sunnah berpedoman kepada bahwa sesungguhnya Ilmu Allah,
QudratNya, HayatNya, IradatNya, Sama’Nya dan BasarNya, serta KalamNya adalah
sifat-sifatnya yang azali serta abadi. Golongan Mu’tazilah menyatakan bahwa
tidak ada Qudrat, Ilmu, Hayat bagi Allah Ta’ala dan la tidak dapat dilihat di
Akhirat.
Ahli’s-Sunnah berijma’ bahwa
Qudrat Allah yang terjadi atas segala yang ditakdirkan itu semuanya sebagai
satu qudrat yang dengannya ditakdirkan semua yang ditakdirkannya itu. Ini
diikuti dengan kesesatan kesesatan Mu’tazilah yang berhubungan dengan hal ini.
Diantaranya dinyatakan bahwa Ahli’s-Sunnah berijma’ bahwa
Ilmu Allah adalah satu yang dengannya itu la mengetahui segala sesuatu dihitung
secara satu persatu. Satu golongan dari Rafidah mengatakan bahwa Allah tidak
mengetahui sesuatu itu sebelumnya ada dan Zurarah bin Kyun dan para pengikutnya
di kalangan Rafidah menyatakan bahwa Ilmu Allah, QudratNya, HayatNya, dan
lain-lain sifat yang baru bahwasanya ia tidak Hidup, tidak Berkuasa dan tidak
Mengetahui melainkan la hanya menjadikan untuk DiriNya Hayat, Qudrat,Ilmu,
Iradat, Sama’, Basar.
Golongan
Ahli’-Sunnah berijma’ bahwa Sifat Sama’ dan Basar Tuhan meliputi segala yang
didengar dan segala yang dilihat dan Tuhan senantiasa melihat bagi DiriNya dan
Mendengar bagi Kalam DiriNya. Ini yang diikuti dengan khilafah Mu’tazilah.
Golongan Ahli’s-Sunnah berijma’
bahwa Allah bisa dilihat oleh orang-orang yang beriman di Akhirat. Ini adalah
berlawanan dengan pendapat Qadariyah dan Jahmiyah yang menganggap bahwa
mustahil Allah bisa dilihat di Akhirat.
Diantaranya dinyatakan bahwa Ahli’s-Sunnah berijma’ bahwa
Iradat Allah adalah Masyi’ah atau KehendakNya dan mereka berijma’ bahwa
KehendakNya lulus dalam apa yang dikehendakinya mengikuti IlmuNya. Ini diikuti
dengan golongan yang menentanginya, juga diikuti dengan kenyataan tentang sifat
sifat yang lain, seperti hayat, tanpa Roh, Sifat Kalam dan khilafah golongan
yang berpendirian berbeda.
Dasar yang keempat tentang nama-nama Allah yang diambil dari al
Qur’an dan as Sunnah yang sahih.
Dasar kelima tentang keadilan Allah. yang Dinyatakan
dengan pendiri Ahli’s-Sunnah, kemudian diikuti dengan khilafah golongan yang
berbeda pedoman darinya.
Dasar keenam tentang nubuwwah dan risalah, perbedaan
antara nabi dan rasul; karomah, kedudukan para malaikat dengan para
anbiya’diikuti dengan khilaahf kaum-kaum yang menentang dengan pedoman
Ahli’s-Sunnah.
Dasar ketujuh berhubungan
dengan mu’jizat dan karomah; mu’jizat yang dihubungkan dengan nubuwwah, karomah
dihubungkan dengan aullya’ diikuti dengan khilafah mereka yang menentang
dengan pedoman Ahli’s-Sunnah.
Dasar kedelapan berhubungan dengan rukun-rukun Islam dari
syahadah sampai kepada rukun menunaikan haji. Diikuti dengan pedoman kaum-kaum
yang berlawanan dengannya.
Dasar kesembilan berhubungan dengan perintah dan larangan dan
hukum lima; wajib, haram, sunah, makruh, mubah. Diikuti dengan pedoman kaum
yang menyalahinya.
Dasar kesepuluh tentang fana’nya sekalian hamba Allah dan
hukum terhadap mereka dalam alam abadi, alam barzah, padang mahsyar Sirat,
Mizan, Syafa’ah.
Dasar kesebelas tentang khjlafah dan Imamah. Khllafah
diwajibkan kepada umat untuk melakukan tugas tugas tertentu. ‘Aqd Imamah;
diikuti dengan khilafah kaum-kaum yang menentangnya, kedudukan Khulafa’
al-Rashidin menurut urut khilafah mereka, diikuti dengan khilafah golongan yang
berbeda pedoman darinya.
Dasar kedua belas berhubungan dengan iman, Islam, tasdiq dan
ma’rifat. Diikuti dengan khilaah pedoman yang berbeda dengannya.
Dasar ketiga belas berhubungan dengan auliya’, imam imam dan
para malaikat, serta ajaran tentang ismah. Diikuti dengan khilafah kaum-kaum
yang berbeda faham dengannya.
Dasar keempat belas, hukum
tentang musuh musuh Islam, satu diantara mereka yang ada sebelum lahir Islam,
dan kedua mereka yang lahir dalam masa Islam.
PENUTUP
Inilah diantara apa yang bisa
dipaparkan dalam hubungan dengan konsep Ahli’s-Sunnah wal-Jama’ah serta sedikit
banyak tentang perkembangan yang terjadi dalam sejarah perkembangannya.
Walaupun dalam bentuk konsep yang akhimya itu kelihatan termasuk didalamnya
terdapat segi-segi sejarah umat ini, hakekat ajaran dan amalan Ahli’s-Sunnah
adalah merupakan hakekat yang telah ada pada zaman permulaan Islam.
Perkembangannya itu merupakan sesuatu sebagai deployment, suatu pernyataan
dirinya pada waktu yang akan datang, sebagaimana intinya adalah penyataan diri
bagi hakekatnya yang ada dalam munculnya itu. Dalam konsep Ahli’s-Sunnah
wal-Jama’ah ini terletak untuk mempertimbangkan dalam penerimaan atau penolakan
segala sesuatu yang berhubungan dengan pedoman dan aktivitas keagamaan.