Kembali
Jadi, shalat tarawih 11 atau 13 raka’at yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bukanlah pembatasan. Sehingga para ulama dalam pembatasan jumlah raka’at shalat tarawih ada beberapa pendapat.
Jadi, shalat tarawih 11 atau 13 raka’at yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bukanlah pembatasan. Sehingga para ulama dalam pembatasan jumlah raka’at shalat tarawih ada beberapa pendapat.
Pendapat pertama, yang
membatasi hanya sebelas raka’at. Alasannya karena inilah yang dilakukan oleh
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Inilah pendapat Syaikh Al Albani dalam
kitab beliau Shalatut Tarawaih.
Pendapat kedua, shalat
tarawih adalah 20 raka’at (belum termasuk witir). Inilah pendapat mayoritas
ulama semacam Ats Tsauri, Al Mubarok, Asy Syafi’i, Ash-haabur Ro’yi, juga
diriwayatkan dari ‘Umar, ‘Ali dan sahabat lainnya. Bahkan pendapat ini adalah
kesepakatan (ijma’) para sahabat.
Al Kasaani mengatakan, “‘Umar
mengumpulkan para sahabat untuk melaksanakan qiyam Ramadhan lalu diimami oleh
Ubay bin Ka’ab radhiyallahu Ta’ala ‘anhu. Lalu shalat tersebut dilaksanakan 20
raka’at. Tidak ada seorang pun yang mengingkarinya sehingga pendapat ini
menjadi ijma’ atau kesepakatan para sahabat.”
Ad Dasuuqiy dan lainnya
mengatakan, “Shalat tarawih dengan 20 raka’at inilah yang menjadi amalan para
sahabat dan tabi’in.”
Ibnu ‘Abidin mengatakan, “Shalat
tarawih dengan 20 raka’at inilah yang dilakukan di timur dan barat.”
‘Ali As Sanhuriy mengatakan,
“Jumlah 20 raka’at inilah yang menjadi amalan manusia dan terus menerus
dilakukan hingga sekarang ini.”
Al Hanabilah mengatakan, “Shalat
tarawih 20 raka’at inilah yang dilakukan dan dihadiri banyak sahabat. Sehingga
hal ini menjadi ijma’ atau kesepakatan sahabat. Dalil yang menunjukkan hal ini
amatlah banyak.” (Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 2/9636)
Pendapat ketiga, shalat
tarawih adalah 39 raka’at dan sudah termasuk witir. Inilah pendapat Imam Malik.
Beliau memiliki dalil dari riwayat Daud bin Qois, dikeluarkan oleh Ibnu Abi
Syaibah dan riwayatnya shahih. (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/419)
Pendapat keempat, shalat
tarawih adalah 40 raka’at dan belum termasuk witir. Sebagaimana hal ini
dilakukan oleh ‘Abdurrahman bin Al Aswad shalat malam sebanyak 40 raka’at dan
beliau witir 7 raka’at. Bahkan Imam Ahmad bin Hambal melaksanakan shalat malam
di bulan Ramadhan tanpa batasan bilangan sebagaimana dikatakan oleh ‘Abdullah.
(Lihat Kasyaful Qona’ ‘an Matnil Iqna’, 3/267)
Kesimpulan dari pendapat-pendapat
yang ada adalah sebagaimana dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, “Semua
jumlah raka’at di atas boleh dilakukan. Melaksanakan shalat malam di bulan
Ramadhan dengan berbagai macam cara tadi itu sangat bagus. Dan memang lebih
utama adalah melaksanakan shalat malam sesuai dengan kondisi para jama’ah.
Kalau jama’ah kemungkinan senang dengan raka’at-raka’at yang panjang, maka
lebih bagus melakukan shalat malam dengan 10 raka’at ditambah dengan witir 3
raka’at, sebagaimana hal ini
dipraktekkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri di bulan Ramdhan
dan bulan lainnya. Dalam kondisi seperti itu, demikianlah yang terbaik.
Yang Paling Bagus adalah yang
Panjang Bacaannya
Setelah penjelasan di atas, tidak
ada masalah untuk mengerjakan shalat 11 atau 23 raka’at. Namun yang terbaik
adalah yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun berdirinya
agak lama. Dan boleh juga melakukan shalat tarawih dengan 23 raka’at dengan
berdiri yang lebih ringan sebagaimana banyak dipilih oleh mayoritas ulama.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
أَفْضَلُ الصَّلاَةِ طُولُ الْقُنُوتِ
“Sebaik-baik shalat adalah yang
lama berdirinya.” (HR. Muslim no. 756)
Dari Abu Hurairah, beliau
berkata,
عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّهُ
نَهَى أَنْ يُصَلِّىَ الرَّجُلُ مُخْتَصِرًا
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam melarang seseorang shalat mukhtashiron.” (HR. Bukhari dan Muslim). Ibnu
Hajar –rahimahullah- membawakan hadits di atas dalam kitab beliau Bulughul
Marom, Bab “Dorongan agar khusu’ dalam shalat.” Sebagian ulama menafsirkan
ikhtishor (mukhtashiron) dalam hadits di atas adalah shalat yang ringkas
(terburu-buru), tidak ada thuma’ninah ketika membaca surat, ruku’ dan sujud.
(Lihat Syarh Bulughul Marom, Syaikh ‘Athiyah Muhammad Salim, 49/3, Asy
Syamilah)
Oleh karena itu, tidak tepat jika
shalat 23 raka’at dilakukan dengan kebut-kebutan, bacaan Al Fatihah pun kadang
dibaca dengan satu nafas. Bahkan kadang pula shalat 23 raka’at yang dilakukan
lebih cepat selesai dari yang 11 raka’at. Ini sungguh suatu kekeliruan.
Seharusnya shalat tarawih dilakukan dengan penuh khusyu’ dan thuma’ninah, bukan
dengan kebut-kebutan. Semoga Allah memberi taufik dan hidayah.
Salam Setiap Dua Raka’at
Para pakar fiqih berpendapat
bahwa shalat tarawih dilakukan dengan salam setiap dua raka’at. Karena tarawih
termasuk shalat malam. Sedangkan shalat malam dilakukan dengan dua raka’at
salam dan dua raka’at salam. Dasarnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam,
صَلاَةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى
“Shalat malam adalah dua raka’at
dua raka’at.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ulama-ulama Malikiyah mengatakan,
“Dianjurkan bagi yang melaksanakan shalat tarawih untuk melakukan salam setiap
dua raka’at dan dimakruhkan mengakhirkan salam hingga empat raka’at. … Yang
lebih utama adalah salam setelah dua raka’at.” (Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah
Al Kuwaitiyyah, 2/9640)
Istirahat Tiap Selesai Empat
Raka’at
Para ulama sepakat tentang
disyariatkannya istirahat setiap melaksanakan shalat tarawih empat raka’at.
Inilah yang sudah turun temurun dilakukan oleh para salaf. Namun tidak mengapa
kalau tidak istirahat ketika itu. Dan juga tidak disyariatkan untuk membaca
do’a tertentu ketika melakukan istirahat. Inilah pendapat yang benar dalam
madzhab Hambali. (Lihat Al Inshof, 3/117)
Dasar dari hal ini adalah
perkataan ‘Aisyah yang menjelaskan tata cara shalat malam Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam,
يُصَلِّى أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ فَلاَ تَسْأَلْ عَنْ
حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ، ثُمَّ يُصَلِّى أَرْبَعًا فَلاَ تَسْأَلْ عَنْ
حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam melaksanakan shalat 4 raka’at, maka janganlah tanyakan mengenai bagus
dan panjang raka’atnya. Kemudian beliau melaksanakan shalat 4 raka’at lagi,
maka janganlah tanyakan mengenai bagus dan panjang raka’atnya.” (HR. Bukhari
no. 3569 dan Muslim no. 738)
Sebagai catatan penting, tidaklah
disyariatkan membaca dzikir-dzikir tertentu atau do’a tertentu ketika istirahat
setiap melakukan empat raka’at shalat tarawih, sebagaimana hal ini dilakukan
sebagian muslimin di tengah-tengah kita yang mungkin saja belum mengetahui
bahwa hal ini tidak ada tuntunannya dalam ajaran Islam. (Lihat Shahih Fiqih
Sunnah, 1/420)
Ulama-ulama Hambali mengatakan,
“Tidak mengapa jika istirahat setiap melaksanakan empat raka’at shalat tarawih
ditinggalkan. Dan tidak dianjurkan membaca do’a-do’a tertentu ketika waktu
istirahat tersebut karena tidak adanya dalil yang menunjukkan hal ini.” (Lihat
Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 2/9639).
Surat yang Dibaca Ketika Shalat
Tarawih
Tidak ada riwayat mengenai bacaan
surat tertentu dalam shalat tarawih yang dilakukan oleh Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam. Jadi, surat yang dibaca boleh berbeda-beda sesuai dengan
keadaan. Imam dianjurkan membaca bacaan surat yang tidak sampai membuat jama’ah
bubar meninggalkan shalat. Seandainya jama’ah senang dengan bacaan surat yang
panjang-panjang, maka itu lebih baik berdasarkan riwayat-riwayat yang telah
kami sebutkan.
Ada anjuran dari sebagian ulama
semacam ulama Hanafiyah dan Hambali untuk mengkhatamkan Al Qur’an di bulan
Ramadhan dengan tujuan agar manusia dapat mendengar seluruh Al Qur’an ketika
melaksanakan shalat tarawih.