Dakwah dan ajakan Nabi Syu’aib disambut oleh mereka terutama penguasa, pembesar serta orang-orang kaya dengan ejekan dan olok-olokan. Mereka berkata: “Adakah karena shalatmu, engkau memerintahkan kami menyembah selain apa yang telah kami sembah sepanjang hayat kami. Persembahan mana pula telah dilakukan oleh nenek moyang kami dan diwariskan kepada kami. Dan apakah juga karena shalatmu engkau menganjurkan kami meninggalkan cara-cara hidup sehari-hari yang nyata telah membawa kemakmuran dan kebahagian bagi kami bahkan sudah menjadi adat istiadat kami turun temurun. Sungguh kami tidak mengerti apa tujuanmu dan apa maksudmu dengan ajaran-ajaran baru yang engkau bawa kepada kami. Sungguh kami menyaksikan ketidak kesempurnaan akalmu dan keberesan otakmu!”
Ejekan dan olok-olokan mereka
didengar dan diterima oleh Syu’aib dengan kesabaran dan kelapangan dada. Ia
sekali kali tidak menyambut kata-kata kasar mereka dengan marah atau
membalasnya dengan kata-kata yang kasar pula. Ia bahkan makin bersikap lemah
lembut dalam dakwahnya dengan menggugah hati nurani dan akal mereka supaya
memikirkan dan merenungkan apa yang dikatakan dan dinasehatkan kepada mereka.
Dan sesekali ia menonjolkan hubungan darah dan kekeluargaannya dengan mereka,
sebagai jaminan bahwa ia menghendaki perbaikan bagi hidup mereka di dunia dan
akhirat dan bukan sebaliknya. Ia tidak mengharapkan sesuatu balas jasa atas
usaha dakwahnya.
Ia tidak pula memerlukan kedudukan atau menginginkan
kehormatan bagi dirinya dari kaumnya. Ia akan cukup merasa puas jika kaumnya
kembali kepada jalan Allah, masyarakatnya akan menjadi masyarakat yang bersih
dari segala kemaksiatan dan adt-istiadat yang buruk. Ia akan menerima upahnya
dari Allah yang telah mengutuskannya sebagai rasul yang dibebani amanat untuk
menyampaikan risalah-Nya kepada kaumnya sendiri.