Hadist dan Mushthalah Hadist

Kembali

    Hadist mempunyai nilai yang tinggi sesudah Alqur’anul karim, karena banyak ayat ayat Alqur’an yang dikemukakan secara umum dan memerlukan perincian, maka ayat itu tidak dapat dipahami maksudnya dengan jelas dan terperinci kalau tidak berpedoman kepada hadist hadist. Oleh karena itu maka timbullah keinginan para ulama’ untuk membukukan hadist hadist Rosulullah apalagi setelah ternyata bahwa banyak sekali hadist hadist yang lemah dan palsu. Pada mulanya hadist itu tidak dikumpulkan seperti Alqur’anul karim, karena banyak ucapan ucapan rosulullah yang maksudnya melarang membukukan hadist. Larangan itu antara lain tersebut dalam hadist yang diriwayatkan Imam Muslim dan Abu Said Al Khudri, yang berkata “ Bersabda Rosulullah saw : Janganlah kamu tuliskan ucapan ucapanku ! Siapa yang menuliskan ucapanku selain Alqur’an hendaklah dihapuskan, dan kamu boleh meriwayatkan perkataan perkataan ini siapa yang dengan sengaja berdusta terhadapku, maka tempatnya adalah Neraka

      Baru pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz, Hadist hadist ini dibukukan. Kemudian pada masa pemerintahan Abu Ja’far Al Mansur dan putra putranya, para Ulama’ mengumpulkan Hadist hadist atas anjuran Khalifah khalifah tersebut. Diantara tokoh tokoh yang termasyhur dalam membukukan hadist hadist ialah : “Imam Malik “ yang menyusun “Al Muwaththa’,  “Imam Bukhari dan Imam Muslim, Imam Ibnu Hambal, At Turmudzi,  Abu Dawud,  Ibnu Majah, dan An Nasai. Karangan karangan mereka ini dianggap sebagai induk kitab kitab hadist yang dikarang. kemudian. Tatkala ternyata ada hadist hadist palsu yang diriwayatkan oleh orang orang yahudi dan Ahli zindiq, maka untuk menyaring mana hadist yang shoheh dan mana hadist yang palsu. 

      Para Ulama’ hadist membuat pedoman pedoman yang dapat menetapkan bahwa suatu hadist shoheh atau palsu, umpamanya dengan memeriksa pribadi pribadi yang mula mula meriwayatkan hadist tersebut sampai kepada perawi terakhir. Serta isi dan makna itu berlawanan atau tidak berlawanan dengan yang ada dalam Alqur’an, jika berlawanan dengan isi dan makna yang ada dalam Alqur’an maka itu berarti hadist palsu. Dan itu perlu dikesampingkan walaupun diriwayatkan oleh perawi perawi yang termasyhur diatas tersebut, karena kemungkinan hadist hadist itu yang membuat orang yahudi atau kaum zindiq diatas namakan perawi perawi yang termasyhur diatas tersebut. Maka pedoman pedoman ini disusun menjadi suatu ilmu yang dinamakan “ Ilmu Mushthalah Hadist”
 --------------------------------------------------------------------------------
 [9] Bukit Sinai Yaitu tempat Nabi Musa a.s. menerima wahyu dari Tuhannya.
 --------------------------------------------------------------------------------