Imam Al Hakim , part 2


Tuduhan bahwa Al Hakim Seorang Penganut Syi'ah dan Rafidhah

Banyak ulama yang membela dan membantah tuduhan bahwa Al Hakim adalah orang yang berpihak pada Ali dan menolak (para sahabat yang lain).
Secara ringkas akan kami bahas masalah ini dengan memaparkan pembelaan para ulama terhadap Al Hakim.
Al Khathib berkata dalam Tarikh Baghdad, “Ibnu Al Bayyi’ (Al Hakim) cenderung ke Syi'ah."
Abu Ishaq Ibrahim bin Muhammad Al Armawi —orang yang sudah tua, shalih, memiliki keutamaan, dan alim— berkata kepada kami di Naisabur—, “Abu Abdillah Al Hakim telah menghimpun hadits-hadits yang dia sangka sesuai kriteria Al Bukhari dan Muslim, yang harus dinukil keduanya dalam kitab Shahih keduanya. Diantaranya hadits ath-thair dan hadits, 'Barangsiapa aku menjadi pelindungnya, maka Alilah yang mejadi pelindungnya '. Oleh karena itu, para Ashabul hadits mengingkari hadits-hadits tersebut. Mereka tidak mengindahkan perkataannya dan tidak pula membenarkan perbuatannya.

As-Sam’ani, dalam Al Ansab, berkata, “Dia orang yang berpaham Syi'ah.
Adz-Dzahabi berkata dalam Siyar A’lam An-Nubala`, "Menurutku sekali-kali tidak, dia bukan seorang Rafidhah, tetapi hanya cenderung ke Syi'ah.
Dia juga berkata dalam Mizan Al I’tidal, “Menurutku, Allah menyukai sikap yang adil (objektif). Orang ini (Al Hakim) bukanlah seorang Rafidhah, tetapi hanya seorang Syi'ah.
Dia kemudian berkata, “Dia terkenal sebagai orang Syi'ah, tapi tidak menyerang Al Bukhari dan Muslim.
Dia juga berkata, “Adapun tentang kejujurannya pada dirinya dan pengetahuannya tentang hal ini, merupakan sesuatu yang telah disepakati oleh para ulama.
Prof. DR. Muwaffiq Abdullah pun turut mengomentari pendapat-pendapat ini dengan mengkritik dan mengklarifikasinya Berikut ini perkataannya:
Menurut pendapat kami, takhrij yang dilakukan oleh Al Hakim terhadap hadits ath-thair dalam Al Mustadrak hanyalah ijtihadnya. Adz-Dzahabi telah mengutip —dengan sanadnya— perkataan Abu Abdurrahman Asy-Syadziyakhi, "Aku pernah duduk di majelis Sayyid Abu Al Hasan, lalu Al Hakim ditanya tentang hadits Ath-Thair, dan dia menjawab, 'Tidak shahih, (karena) seandainya hadits itu shahih, maka tidak ada sahabat yang lebih utama daripada Ali setelah Nabi SAW'.

Adz-Dzahabi berkata, “Ini merupakan riwayat yang kuat. Lalu apa maksudnya Al Hakim menukil hadits ath-thair dalam Al Mustadrak? Seakan-akan dia menyelisihi ijtihadnya sendiri. Aku telah menghimpun jalur-jalur periwayatan hadits tersebut dalam satu juz dan jalur-jalur hadits, 'Barangsiapa aku menjadi pelindungnya,' yang lebih shahih'.
Dia juga berkata dalam Tadzkirah Al Huffazh, “Hadits ath-thair memiliki jalur periwayatan yang sangat banyak. Aku telah menghimpunnya secara khusus dalam satu buku. Secara keseluruhan hadits tersebut memiliki dasar. Adapun Hadits, 'Barangsiapa yang aku menjadi pelindungnya', juga memiliki jalur-jalur yang baik, yang telah aku himpun secara khusus dalam satu buku.
As-Subki dalam Thabaqat Asy-Syafi’iyyah Al Kubra membela Al Hakim. Dia membantah orang yang menuduhnya sebagai Rafidhah. Dia berkata, “Menyatakan bahwa hadits ath-thair merupakan hadits dha’if, adalah tidak baik. Aku telah melihat komentar Al Hafizh Shalahuddin Khalil bin Kaikaldi Al Ala’i, setelah menyebutkan takhrij At-Tirmidzi terhadap hadits tersebut. Aku juga telah memeriksa pernyataan An-Nasa`i dalam Khashaish Ali yang menyatakan bahwa yang benar hadits tersebut barangkali sampai kepada derajat hasan, atau bisa jadi dha'if, tapi masih bisa ditolelir."

Dia melanjutkan, “Menyatakan bahwa hadits tersebut maudhu’ dari seluruh jalurnya adalah tidak benar.
Dia juga berkata, “Aku  pun merenung perihal Al Hakim, lalu Allah mengilhamkan kepada diriku bahwa orang ini (Al Hakim) terlalu cenderung kepada Ali melebihi batas kecenderungan yang diperbolehkan syariat Aku tidak mengatakan bahwa dia sampai merendahkan Abu Bakar, Umar dan Utsman, tidak juga mengutamakan Ali atas Abu Bakar dan Umar, tidak juga atas Utsman, karena aku melihat dalam kitabnya yang berjudul Al Arba’in, dia membuat bab khusus tentang keutamaan Abu Bakar, Umar, dan Utsman. Dia mengistimewakan mereka di antara para sahabat. Dia juga mengutamakan Utsman atas Ali dalam kitabnya, Al Mustadrak. Juga menyebutkan keutamaan Thalhah dan Zubair serta Abdullah bin Amr bin Ash. Jadi, dugaan yang kuat adalah, dia bukan seorang Rafidhah.
Adapun tentang kecenderungannya yang berlebih-lebihan terhadap Ali, tidak sampai kepada bid’ah. Aku bisa mengatakan bahwa yang dimaksud Al Khathib adalah, bahwa Al Hakim sekadar cenderung berlebihan terhadap Ali. Oleh karena itu, dia menyatakan bahwa Al Hakim orang yang tsiqah (terpercaya), sebab jika dia berkeyakinan bahwa Al Hakim adalah seorang Rafidhah, tentulah dia menganggapnya cacat, terlebih untuk orang yang menolak riwayat ahli bid’ah. Jadi, menurut kami perkataan Al Khathib mendekati kebenaran.

Kesimpulan yang dapat kita ambil adalah:
1.    Perkataan Al Khathib dalam kitab Tarikh Baghdad, “Ibnu Al Bayyi’ (Al Hakim) adalah orang yang cenderung kepada Syi'ah,” berpedoman pada penukilan Al Hakim terhadap hadits ath-thair dan hadits, "Barangsiapa aku menjadi pelindungnya." Sebagaimana yang dia sebutkan dalam Tarikh Baghdad, “Ahli hadits mengingkari Al Hakim, tidak mengindahkan perkataannya dan tidak membenarkan perbuatannya,” sebagaimana dikutip dari Abu Ishaq Ibrahim bin Muhammad Al Armawi
Kita pun bertanya-tanya, “Apakah hanya Al Hakim satu-satunya yang menukil hadits ath-thair? Ataukah ada ulama hadits sebelumnya yang mendahuluinya?" At-Tirmidzi telah meriwayatkannya dalam Al Manaqib (5/300) dan An-Nasa`i dalam Khasha`ish Ali (no 10). Mengapa hanya Al Hakim yang dituduh Syi'ah dan dilontarkan kepadanya berbagai keraguan lantaran ia meriwayatkan hadits ath-thair, sementara ulama-ulama lainnya yang hidup sebelumnya tidak dituduh demikian?”
Adapun hadits, "Barangsiapa aku menjadi pelindungnya," merupakan hadits shahihyang diriwayatkan Imam Ahmad dan yang lain. Mengapa ahli hadits mengingkarinya, tidak mengindahkan perkataannya dan tidak pula membenarkan perbuatannya? Mengapa mereka tidak mengingkari Imam Ahmad dan ahli hadits lainnya yang menukil hadits tersebut? Padahal yang lebih tepat bahwa hadits tersebut adalah hadits shahih
2.    Riwayat yang disebutkan oleh Adz-Dzahabi dari Ibnu Thahir Al Maqdisi, bahwa dia bertanya kepada Abu Ismail Abdullah bin Muhammad Al Harawi tentang Abu Abdillah Al Hakim, lalu dia (Abu Ismail) menjawab, “Orang yang tsiqah dalam hadits, tapi seorang Rafidhah yang jelek.” Cacat ini tertolak karena beberapa sebab, diantaranya:
Pertama, Muhammad bin Thahir Al Maqdisi telah berpikir secara rasional, yang telah kami komentari. Jadi, pernyataannya tentang Al Hakim dalam masalah ini tidak dapat diterima.
Kedua, Abu Ismail Abdullah bin Muhammad Al Harawi adalah sebagaimana digambarkan oleh Adz-Dzahabi, “Seorang ahlul atsar fanatik yang suka mendiskreditkan ahli kalam.”
Seperti yang telah diketahui bahwa Al Hakim merupakan orang yang berakidah Asy’ariyyah, maka pernyataannya tentang Al Hakim tidak bisa diterima kecuali dengan dalil yang jelas, yang menyatakan bahwa dia berliran Syi'ah atau Rafidhah.

Disamping itu, Syaikhul Islam Al Harawi merupakan penganut madzhab Hanbali yang fanatik, dia pernah berkata,
Aku seorang penganut Hanbali,
baik ketika hidup maupun setelah mati.
Karena itu wasiatku kepada orang-orang,
hendaklah mereka bermadzhab Hanbali.
            Sementara itu, Al Hakim bermadzhab Asy-Syafi'i.
Tentang perkataan Ibnu Thahir, “Dia sangat fanatik terhadap Syi'ah dalam batinnya dan menampakkan ketidaksukaannya terhadap masalah mereka (para sahabat) yang lebih utama, dan masalah khilafah. Secara umum dia bersikap negatif terhadap Muawiyah RA dan keluarganya, Ibnu Thahir Al Maqdisi berpikir rasional, yang tidak pantas untuk menyerang Al Hakim. Disamping itu, dalam sikapnya mencela akidah Al Hakim, dia berargumen dengan dalil yang justru membela Al Hakim, bukan menyerangnya.
Diriwayatkan dari Abu Abdirrahman As-Sulami perkataannya: Aku masuk menemui Al Hakim ketika dia sedang berada di rumahnya. Dia tidak bisa keluar ke masjid karena (dicekal oleh) para pendukung Abu Abdullah bin Karram. Aku katakan kepadanya, “Seandainya engkau keluar dan mendiktekan suatu hadits tentang keutamaan orang ini (Abu Abdillah bin Karram), tentu engkau terbebas dari ujian (pencekalan) ini.” Al Hakim lalu berkata, “Itu tidak datang dari hatiku, itu tidak datang dari hatiku.”

Aku tidak tahu hubungan riwayat ini dengan ke-Syi'ah-an Al Hakim. Sesungguhnya riwayat ini merupakan dalil kebenaran Al Hakim dan kelurusan akidahnya, karena dia menolak bersikap munafik (yaitu mendiktekan keutamaan Muhammad bin Karram).
Selain itu, telah diuraikan kutipan perkataan As-Subki, “Aku melihat dalam kitabnya yang berjudul Al Arba’in, suatu bab yang menjelaskan keutamaan Abu Bakar, Umar, serta Utsman. Dia mengistimewakan mereka di antara para sahabat. Di dalam Al Mustadrak, dia juga menjelaskan keutamaan Utsman atas Ali RA. Disamping itu, dia menukil beberapa hadits yang menjelaskan keutamaan Utsman. Dia juga menjelaskan keutamaan Thalhah, Zubair, dan Abdullah bin Amr bin Ash.
Bukti-bukti yang diuraikan tersebut, yakni yang mencela akidah Al Hakim, tidak layak dijadikan sebagai dalil untuk mengatakan bahwa dia seorang penganut Syi'ah, apalagi Rafidhah.

Disamping itu, menuduh akidah seorang muslim merupakan hal yang sangat berbahaya, memerlukan bukti, penjelasan, serta dalil yang kuat. Bagaimana jika muslim tersebut adalah salah seorang Imam agama ini, salah satu tokoh penyebar Sunnah, dan ulama-ulama semasanya mengakui bahwa dia seorang ahli hadits yang tsiqah? Apalagi dia terkenal dengan ketakwaan dan kebaikannya, bahkan mereka mengutamakannya atas diri mereka? Dia juga memiliki banyak karya yang membuktikan bahwa tuduhan yang dilontarkan oleh orang-orang kepadanya bertentangan dengan penjelasan yang terdapat dalam karya-karyanya tersebut.
Sungguh aku heran dengan Adz-Dzahabi, bagaimana mungkin dia menyebutkan sebagian riwayat ini tanpa mengomentarinya secara ilmiah? Dia memang telah membantah sebagiannya dan melemahkannya, tetapi sesungguhnya yang dituntut darinya adalah, tidak pantas dia berkata (tentang Imam seperti Al Hakim), “Seorang penganut Syi'ah, tapi bukan Rafidhah,” tanpa memberikan dalil yang kuat atas tuduhannya terhadap Al Hakim sebagai seorang Syi'ah.

Wafatnya
Abu Abdillah Al Hakim wafat setelah meninggalkan karya-karya ilmiahnya kepada kita yang sangat bernilai.
As-Subki berkata dalam Thabaqat Asy-Syafi’iyyah, “Benar dia wafat pada tahun 405 H. Namun ada yang mengatakan tahun 403 H.”