Tuduhan bahwa Al Hakim Seorang Penganut Syi'ah dan Rafidhah
Banyak ulama yang membela dan membantah tuduhan bahwa Al
Hakim adalah orang yang berpihak pada Ali dan menolak (para sahabat yang lain).
Secara ringkas akan kami bahas masalah ini dengan
memaparkan pembelaan para ulama terhadap Al Hakim.
Al Khathib berkata dalam Tarikh Baghdad,
“Ibnu Al Bayyi’ (Al Hakim) cenderung ke Syi'ah."
Abu Ishaq Ibrahim bin Muhammad Al Armawi —orang yang
sudah tua, shalih, memiliki keutamaan, dan alim— berkata kepada kami di
Naisabur—, “Abu Abdillah Al Hakim telah menghimpun hadits-hadits yang dia
sangka sesuai kriteria Al Bukhari dan Muslim, yang harus dinukil keduanya dalam
kitab Shahih keduanya. Diantaranya hadits ath-thair dan
hadits, 'Barangsiapa aku menjadi pelindungnya, maka Alilah yang mejadi
pelindungnya '. Oleh karena itu, para Ashabul hadits mengingkari
hadits-hadits tersebut. Mereka tidak mengindahkan perkataannya dan tidak pula
membenarkan perbuatannya.
Adz-Dzahabi berkata dalam Siyar A’lam An-Nubala`, "Menurutku
sekali-kali tidak, dia bukan seorang Rafidhah, tetapi hanya cenderung ke
Syi'ah.
Dia juga berkata dalam Mizan Al I’tidal,
“Menurutku, Allah menyukai sikap yang adil (objektif). Orang ini (Al Hakim)
bukanlah seorang Rafidhah, tetapi hanya seorang Syi'ah.
Dia kemudian berkata, “Dia terkenal sebagai orang Syi'ah,
tapi tidak menyerang Al Bukhari dan Muslim.
Dia juga berkata, “Adapun tentang kejujurannya pada dirinya
dan pengetahuannya tentang hal ini, merupakan sesuatu yang telah disepakati
oleh para ulama.
Prof. DR. Muwaffiq Abdullah pun turut mengomentari
pendapat-pendapat ini dengan mengkritik dan mengklarifikasinya Berikut ini perkataannya:
Menurut pendapat kami, takhrij yang
dilakukan oleh Al Hakim terhadap hadits ath-thair dalam Al
Mustadrak hanyalah ijtihadnya. Adz-Dzahabi telah mengutip —dengan
sanadnya— perkataan Abu Abdurrahman Asy-Syadziyakhi, "Aku pernah duduk di
majelis Sayyid Abu Al Hasan, lalu Al Hakim ditanya tentang hadits Ath-Thair,
dan dia menjawab, 'Tidak shahih, (karena) seandainya hadits
itu shahih, maka tidak ada sahabat yang lebih utama daripada
Ali setelah Nabi SAW'.
Adz-Dzahabi berkata, “Ini merupakan riwayat yang kuat.
Lalu apa maksudnya Al Hakim menukil hadits ath-thair dalam Al
Mustadrak? Seakan-akan dia menyelisihi ijtihadnya sendiri. Aku telah
menghimpun jalur-jalur periwayatan hadits tersebut dalam satu juz dan
jalur-jalur hadits, 'Barangsiapa aku menjadi pelindungnya,' yang
lebih shahih'.
Dia juga berkata dalam Tadzkirah Al Huffazh,
“Hadits ath-thair memiliki jalur periwayatan yang sangat
banyak. Aku telah menghimpunnya secara khusus dalam satu buku. Secara
keseluruhan hadits tersebut memiliki dasar. Adapun Hadits, 'Barangsiapa
yang aku menjadi pelindungnya', juga memiliki jalur-jalur yang baik,
yang telah aku himpun secara khusus dalam satu buku.
As-Subki dalam Thabaqat Asy-Syafi’iyyah Al Kubra membela
Al Hakim. Dia membantah orang yang menuduhnya sebagai Rafidhah. Dia berkata,
“Menyatakan bahwa hadits ath-thair merupakan hadits dha’if,
adalah tidak baik. Aku telah melihat komentar Al Hafizh Shalahuddin Khalil bin
Kaikaldi Al Ala’i, setelah menyebutkan takhrij At-Tirmidzi
terhadap hadits tersebut. Aku juga telah memeriksa pernyataan An-Nasa`i
dalam Khashaish Ali yang menyatakan bahwa yang benar hadits
tersebut barangkali sampai kepada derajat hasan, atau bisa
jadi dha'if, tapi masih bisa ditolelir."
Dia melanjutkan, “Menyatakan bahwa hadits tersebut maudhu’ dari
seluruh jalurnya adalah tidak benar.
Dia juga berkata, “Aku pun merenung perihal Al
Hakim, lalu Allah mengilhamkan kepada diriku bahwa orang ini (Al Hakim) terlalu
cenderung kepada Ali melebihi batas kecenderungan yang diperbolehkan
syariat Aku tidak mengatakan bahwa dia sampai
merendahkan Abu Bakar, Umar dan Utsman, tidak juga mengutamakan Ali atas Abu
Bakar dan Umar, tidak juga atas Utsman, karena aku melihat dalam kitabnya yang
berjudul Al Arba’in, dia membuat bab khusus tentang keutamaan
Abu Bakar, Umar, dan Utsman. Dia mengistimewakan mereka di antara para sahabat.
Dia juga mengutamakan Utsman atas Ali dalam kitabnya, Al Mustadrak.
Juga menyebutkan keutamaan Thalhah dan Zubair serta Abdullah bin Amr bin Ash.
Jadi, dugaan yang kuat adalah, dia bukan seorang Rafidhah.
Adapun tentang kecenderungannya yang berlebih-lebihan
terhadap Ali, tidak sampai kepada bid’ah. Aku bisa mengatakan bahwa yang
dimaksud Al Khathib adalah, bahwa Al Hakim sekadar cenderung berlebihan
terhadap Ali. Oleh karena itu, dia menyatakan bahwa Al Hakim orang yang tsiqah (terpercaya),
sebab jika dia berkeyakinan bahwa Al Hakim adalah seorang Rafidhah, tentulah
dia menganggapnya cacat, terlebih untuk orang yang menolak riwayat ahli bid’ah.
Jadi, menurut kami perkataan Al Khathib mendekati kebenaran.
Kesimpulan yang dapat kita ambil adalah:
1.
Perkataan Al Khathib dalam kitab Tarikh
Baghdad, “Ibnu Al Bayyi’ (Al Hakim) adalah orang yang cenderung kepada
Syi'ah,” berpedoman pada penukilan Al Hakim terhadap hadits ath-thair dan
hadits, "Barangsiapa aku menjadi pelindungnya." Sebagaimana
yang dia sebutkan dalam Tarikh Baghdad, “Ahli hadits mengingkari Al
Hakim, tidak mengindahkan perkataannya dan tidak membenarkan perbuatannya,”
sebagaimana dikutip dari Abu Ishaq Ibrahim bin Muhammad Al Armawi
Kita pun bertanya-tanya, “Apakah hanya Al Hakim
satu-satunya yang menukil hadits ath-thair? Ataukah ada ulama
hadits sebelumnya yang mendahuluinya?" At-Tirmidzi telah meriwayatkannya
dalam Al Manaqib (5/300) dan An-Nasa`i dalam Khasha`ish
Ali (no 10). Mengapa hanya Al Hakim yang dituduh Syi'ah dan
dilontarkan kepadanya berbagai keraguan lantaran ia meriwayatkan hadits ath-thair, sementara
ulama-ulama lainnya yang hidup sebelumnya tidak dituduh demikian?”
Adapun hadits, "Barangsiapa aku menjadi
pelindungnya," merupakan hadits shahihyang
diriwayatkan Imam Ahmad dan yang lain. Mengapa ahli hadits mengingkarinya,
tidak mengindahkan perkataannya dan tidak pula membenarkan perbuatannya?
Mengapa mereka tidak mengingkari Imam Ahmad dan ahli hadits lainnya yang
menukil hadits tersebut? Padahal yang lebih tepat bahwa hadits tersebut adalah
hadits shahih.
2.
Riwayat yang disebutkan oleh Adz-Dzahabi dari
Ibnu Thahir Al Maqdisi, bahwa dia bertanya kepada Abu Ismail Abdullah bin
Muhammad Al Harawi tentang Abu Abdillah Al Hakim, lalu dia (Abu Ismail)
menjawab, “Orang yang tsiqah dalam hadits, tapi seorang
Rafidhah yang jelek.” Cacat ini tertolak karena beberapa sebab,
diantaranya:
Pertama, Muhammad bin Thahir Al
Maqdisi telah berpikir secara rasional, yang telah kami komentari. Jadi,
pernyataannya tentang Al Hakim dalam masalah ini tidak dapat diterima.
Kedua, Abu Ismail Abdullah bin
Muhammad Al Harawi adalah sebagaimana digambarkan oleh Adz-Dzahabi,
“Seorang ahlul atsar fanatik yang suka mendiskreditkan ahli
kalam.”
Seperti yang telah diketahui bahwa Al Hakim merupakan
orang yang berakidah Asy’ariyyah, maka pernyataannya tentang Al Hakim tidak
bisa diterima kecuali dengan dalil yang jelas, yang menyatakan bahwa dia
berliran Syi'ah atau Rafidhah.
Disamping itu, Syaikhul Islam Al Harawi merupakan penganut
madzhab Hanbali yang fanatik, dia pernah berkata,
Aku seorang penganut Hanbali,
baik ketika hidup maupun setelah mati.
Karena itu wasiatku kepada orang-orang,
hendaklah
mereka bermadzhab Hanbali.
Sementara itu, Al Hakim bermadzhab Asy-Syafi'i.
Tentang perkataan Ibnu Thahir, “Dia sangat fanatik
terhadap Syi'ah dalam batinnya dan menampakkan ketidaksukaannya terhadap
masalah mereka (para sahabat) yang lebih utama, dan masalah khilafah. Secara
umum dia bersikap negatif terhadap Muawiyah RA dan keluarganya, Ibnu Thahir Al Maqdisi berpikir rasional, yang tidak
pantas untuk menyerang Al Hakim. Disamping itu, dalam sikapnya mencela akidah
Al Hakim, dia berargumen dengan dalil yang justru membela Al Hakim, bukan
menyerangnya.
Diriwayatkan dari Abu Abdirrahman As-Sulami perkataannya:
Aku masuk menemui Al Hakim ketika dia sedang berada di rumahnya. Dia tidak bisa
keluar ke masjid karena (dicekal oleh) para pendukung Abu Abdullah bin Karram.
Aku katakan kepadanya, “Seandainya engkau keluar dan mendiktekan suatu hadits
tentang keutamaan orang ini (Abu Abdillah bin Karram), tentu engkau terbebas
dari ujian (pencekalan) ini.” Al Hakim lalu berkata, “Itu tidak datang dari
hatiku, itu tidak datang dari hatiku.”
Aku tidak tahu hubungan riwayat ini dengan ke-Syi'ah-an
Al Hakim. Sesungguhnya riwayat ini merupakan dalil kebenaran Al Hakim dan
kelurusan akidahnya, karena dia menolak bersikap munafik (yaitu mendiktekan
keutamaan Muhammad bin Karram).
Selain itu, telah diuraikan kutipan perkataan As-Subki,
“Aku melihat dalam kitabnya yang berjudul Al Arba’in, suatu bab
yang menjelaskan keutamaan Abu Bakar, Umar, serta Utsman. Dia mengistimewakan
mereka di antara para sahabat. Di dalam Al Mustadrak, dia juga
menjelaskan keutamaan Utsman atas Ali RA. Disamping itu, dia menukil beberapa
hadits yang menjelaskan keutamaan Utsman. Dia juga menjelaskan keutamaan
Thalhah, Zubair, dan Abdullah bin Amr bin Ash.
Bukti-bukti yang diuraikan tersebut, yakni yang mencela
akidah Al Hakim, tidak layak dijadikan sebagai dalil untuk mengatakan bahwa dia
seorang penganut Syi'ah, apalagi Rafidhah.
Disamping itu, menuduh akidah seorang muslim merupakan
hal yang sangat berbahaya, memerlukan bukti, penjelasan, serta dalil yang kuat.
Bagaimana jika muslim tersebut adalah salah seorang Imam agama ini, salah satu
tokoh penyebar Sunnah, dan ulama-ulama semasanya mengakui bahwa dia seorang
ahli hadits yang tsiqah? Apalagi dia terkenal dengan ketakwaan dan
kebaikannya, bahkan mereka mengutamakannya atas diri mereka? Dia juga memiliki
banyak karya yang membuktikan bahwa tuduhan yang dilontarkan oleh orang-orang
kepadanya bertentangan dengan penjelasan yang terdapat dalam karya-karyanya
tersebut.
Sungguh aku heran dengan Adz-Dzahabi,
bagaimana mungkin dia menyebutkan sebagian riwayat ini tanpa mengomentarinya
secara ilmiah? Dia memang telah membantah sebagiannya dan melemahkannya, tetapi
sesungguhnya yang dituntut darinya adalah, tidak pantas dia berkata (tentang
Imam seperti Al Hakim), “Seorang penganut Syi'ah, tapi bukan Rafidhah,” tanpa
memberikan dalil yang kuat atas tuduhannya terhadap Al Hakim sebagai seorang
Syi'ah.
Wafatnya
Abu Abdillah Al Hakim wafat setelah meninggalkan
karya-karya ilmiahnya kepada kita yang sangat bernilai.
As-Subki
berkata dalam Thabaqat Asy-Syafi’iyyah, “Benar dia wafat pada tahun
405 H. Namun ada yang mengatakan tahun 403 H.”