وَأَنْ لَيْسَ لِلإنْسَانِ إِلا مَا سَعَى
“Dan bahwasanya seorang manusia
tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.” (QS. An Najm: 39).
Di antara yang diusahakan oleh
manusia adalah anak yang sholih.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
إِنَّ مِنْ أَطْيَبِ مَا أَكَلَ الرَّجُلُ مِنْ
كَسْبِهِ وَوَلَدُهُ مِنْ كَسْبِهِ
“Sesungguhnya yang paling baik
dari makanan seseorang adalah hasil jerih payahnya sendiri. Dan anak merupakan
hasil jerih payah orang tua.” [HR. Abu Daud no. 3528 dan An Nasa-i no. 4451.
Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih]
Ini berarti amalan dari anaknya yang sholih masih tetap bermanfaat bagi orang tuanya walaupun sudah berada di liang lahat karena anak adalah hasil jerih payah orang tua yang pantas mereka nikmati.
Namun sayang, orang tua saat ini
melupakan modal yang satu ini. Mereka lebih ingin anaknya menjadi seorang
penyanyi atau musisi –sehingga dari kecil sudah dididik les macam-macam-,
dibanding anaknya menjadi seorang da’i atau orang yang dapat memberikan manfaat
pada umat dalam masalah agama. Sehingga orang tua pun lupa dan lalai mendidik
anaknya untuk mempelajari Iqro’ dan Al Qur’an. Sungguh amat merugi jika orang
tua menyia-nyiakan anaknya padahal anak sholih adalah modal utama untuk
mendapatkan aliran pahala walaupun sudah di liang lahat.