Aazar, ayah Nabi Ibrahim tidak terkecuali sebagaimana kaumnya yang lain, menyembah berhala bahkan ia adalah pedagang dari patung-patung yang dibuat dan dipahatnya sendiri dan dari padanya orang membeli patung-patung yang dijadikan persembahan. Nabi Ibrahim merasa bahwa kewajiban pertama yang harus ia lakukan sebelum berdakwah kepada orang lain ialah menyadarkan ayah kandungnya dulu orang yang terdekat kepadanya bahwa kepercayaan dan persembahannya kepada berhala-berhala itu adalah perbuatan yang sesat dan bodoh.Beliau merasakan bahwa kebaktian kepada ayahnya mewajibkannya memberi penerangan kepadanya agar melepas kepercayaan yang sesat itu dan mengikutinya serta beriman kepada Allah Yang Maha Kuasa.
Dengan sikap yang sopan dan adab
yang patut ditunjukkan oleh seorang anak terhadap orang tuanya dan dengan
kata-kata yang halus ia datang kepada ayahnya menyampaikan bahwa ia diutuskan
oleh Allah sebagai nabi dan rasul dan bahwa ia telah diilhamkan dengan
pengetahuan dan ilmu yang tidak dimiliki oleh ayahnya. Ia bertanya kepada
ayahnya dengan lemah lembut gerangan apakah yang mendorongnya untuk menyembah
berhala seperti lain-lain kaumnya padahal ia mengetahui bahwa berhala-berhala
itu tidak berguna sedikit pun tidak dapat mendatangkan keuntungan bagi
penyembahnya atau mencegah kerugian atau musibah. Diterangkan pula kepada
ayahnya bahwa penyembahan kepada berhala-berhala itu adalah semata-mata ajaran
syaitan yang memang menjadi musuh kepada manusia sejak Adam diturunkan ke bumi
lagi. Ia berseru kepada ayahnya agar merenungkan dan memikirkan nasihat dan
ajakannya berpaling dari berhala-berhala dan kembali menyembah kepada Allah
yang menciptakan manusia dan semua makhluk yang dihidupkan, serta memberi
mereka rezeki dan kenikmatan hidup serta memberi kuasa dibumi dengan segala
isinya kepada manusia.
Aazar menjadi merah mukanya dan
melotot matanya mendengar kata-kata seruan puteranya Nabi Ibrahim yang
ditanggapinya sebagai dosa dan hal yang kurang ajar bahwa puteranya telah
berani mengecam dan menghina kepercayaan ayahnya bahkan mengajaknya untuk
meninggalkan kepercayaan itu dan menganut kepercayaan dan agama yang ia bawa.
Ia tidak menyembunyikan murka dan marahnya tetapi dinyatakannya dalam kata-kata
yang kasar dan makian namun seakan-akan tidak ada hubungan diantara mereka. Ia
berkata kepada Nabi Ibrahim dengan nada gusar: “Hai Ibrahim! Berpalingkah
engkau dari kepercayaan dan persembahanku ? Dan kepercayaan apakah yang engkau
berikan kepadaku yang menganjurkan agar aku mengikutinya? Janganlah engkau
membangkitkan amarahku dan mencoba mendurhakaiku. Jika engkau tidak
menghentikan penyelewenganmu dari agama ayahmu dan tidak engkau hentikan
usahamu mengecam dan memburuk-burukkan persembahanku, maka keluarlah engkau
dari rumahku ini. Aku tidak sudi bercampur denganmu didalam suatu rumah di
bawah suatu atap. Pergilah engkau dari mukaku sebelum aku menimpamu dengan batu
dan mencelakakan engkau.”
Nabi Ibrahim menerima kemarahan
ayahnya, pengusirannya dan kata-kata kasarnya dengan sikap tenang, normal
selaku anak terhadap ayahnya seraya berkata: “Wahai ayahku! Semoga engkau
selamat, aku akan tetap memohonkan ampun bagimu dari Allah dan akan tinggalkan
kamu dengan persembahan selain kepada Allah. Mudah-mudahan aku tidak menjadi
orang yang celaka dan malang, serta dengan doaku untukmu.” Lalu keluarlah Nabi
Ibrahim meninggalkan rumah ayahnya dalam keadaan sedih karena gagal mengangkat
ayahnya dari lembah kesyirikan dan kekufuran.