Kegagalan Nabi Ibrahim dalam usahanya menyadarkan ayahnya yang tersesat itu sangat menusuk hatinya karena ia sebagai putera yang baik ingin sekali melihat ayahnya berada dalam jalan yang benar dan terangkat dari lembah kesesatan dan syirik namun ia sadar bahwa hidayah itu adalah di tangan Allah dan bagaimana pun ia ingin dengan sepenuh hatinya agar ayahnya mendapat hidayah ,bila belum dikehendaki oleh Allah maka sia-sialah keinginan dan usahanya. Penolakan ayahnya terhadap dakwahnya dengan cara yang kasar dan kejam itu tidak sedikit pun mempengaruhi ketetapan hatinya dan melemahkan semangatnya untuk berjalan terus untuk memberikan penerangan kepada kaumnya untuk menyapu bersih persembahan-persembahan yang bathil dan kepercayaan-kepercayaan yang bertentangan dengan tauhid dan iman kepada Allah dan Rasul-Nya
Nabi Ibrahim tidak henti-hentinya
didalam setiap kesempatan umtuk mengajak kaumnya berdiskusi dan
bermujadalah tentang kepercayaan yang mereka anut dan ajaran yang ia bawa. Dan
ternyata bahwa apabila mereka sudah tidak berdaya menolak dan menyanggah
alasan-alasan dan dalil-dalil yang dikemukakan oleh Nabi Ibrahim tentang
kebenaran ajarannya dan kebatilan kepercayaan mereka maka dalil dan alasan
yang mereka kemukakan yaitu bahwa mereka hanya meneruskan apa yang
bapak-bapak dan nenek moyang mereka lakukan sejak turun-temurun dan sesekali
mereka tidak akan melepaskan kepercayaan dan agama yang telah mereka warisi.
Nabi Ibrahim pada akhirnya merasa
tidak bermanfaat lagi untuk berdebat dan bermujadalah dengan kaumnya yang keras
kepala dan yang tidak mau menerima keterangan dan bukti-bukti nyata yang
dikemukakan oleh beliau dan selalu berpegang pada satu-satunya alasan bahwa
mereka tidak akan menyimpang dari cara persembahan nenek moyang mereka,
walaupun Nabi Ibrahim telah menasehati mereka berkali-kali bahwa mereka dan
bapak-bapak mereka keliru dan tersesat yang mengikuti jejak syaitan dan iblis.
Nabi Ibrahim kemudian berencana akan membuktikan kepada kaumnya dengan
perbuatan yang nyata yang dapat mereka lihat dengan mata kepala mereka sendiri
bahwa berhala-berhala dan patung-patung mereka betul-betul tidak berguna bagi
mereka dan bahkan tidak dapat menyelamatkan dirinya sendiri.
sudah menjadi tradisi dan
kebiasaan penduduk kerajaan Babylon bahwa setiap tahun mereka keluar kota
beramai-ramai pada suatu hari raya yang mereka anggap sebagai keramat.
Berhari-hari mereka tinggal di luar kota di suatu padang terbuka, berkemah
dengan membawa perbekalan makanan dan minuman yang cukup. Mereka bersuka ria
dan bersenang-senang sambil meninggalkan kota.dan kota mereka kosong dan sunyi.
Mereka berseru dan mengajak semua penduduk agar keluar meninggalkan rumah dan
turut beramai -ramai menghormati hari-hari suci itu. Nabi Ibrahim yang juga
diajak turut serta bersedia dan berpura-pura sakit dan diizinkanlah ia tinggal
di rumah apalagi mereka merasa kuatir bahwa penyakit Nabi Ibrahim yang
dibuat-buat itu akan menular dan menjalar di kalangan mereka jika dia ikut
serta.
“Inilah dia kesempatan yang ku
nantikan.” kata hati Nabi Ibrahim tatkala melihat kota sudah kosong dari
penduduknya, sunyi senyap tidak terdengar kecuali suara burung-burung yang
berkicau, suara daun-daun pohon yang gemerisik ditiup angin kencang. Dengan
membawa sebuah kapak ditangannya ia pergi menuju tempat beribadatan kaumnya
yang sudah ditinggalkan tanpa penjaga, tanpa juru kunci dan hanya deretan
patung-patung yang terlihat diserambi tempat peribadatan itu. Sambil menunjuk
kepada sembahan bunga-bunga dan makanan yang berada di setiap kaki patung
berkata Nabi Ibrahim, mengejek:”Mengapa kamu tidak makan makanan yang lezat
yang disajikan untuk kamu ini? Jawablah aku dan berkata-katalah kamu.” Kemudian
ditendang, ditampar patung-patung itu dan dihancurkannya dengan porak poranda
dengan kapak yang berada di tangannya. Patung yang besar dibiarkan utuh, tidak
diganggu dan di lehernya dikalungkan kampak oleh Nabi Ibrahim itu.
Terperanjat dan terkejutlah para
penduduk, tatkala pulang dari berpesta ria di luar kota dan melihat keadaan
patung-patung, tuhan-tuhan mereka hancur berantakan dan menjadi
potongan-potongan berserakan di atas lantai. Bertanyalah satu kepada yang lain
dengan nada heran dan takjub: “Gerangan siapakah yang telah berani melakukan
perbuatan yang jahat dan keji ini terhadap tuhan-tuhan persembahan kita ini?”
Berkata salah seorang diantara mereka:”Ada kemungkinan bahwa orang yang selalu
mengolok-olok dan mengejek persembahan kami yang bernama Ibrahim itulah yang
melakukan perbuatan yang berani ini.” Seorang yang lain menambah keterangan
dengan berkata:”Bahkan dialah yang pasti berbuat, karena ia adalah satu-satunya
orang yang tinggal di kota sewaktu kami semua berada di luar merayakan hari
suci dan keramat itu.” setelah diselidiki, akhirnya terdapat kepastian yang
tidak diragukan lagi bahwa Ibrahimlah yang merusak dan memusnahkan
patung-patung itu. Rakyat kota beramai-ramai membicarakan kejadian yang
dianggap suatu kejadian atau penghinaan yang tidak dapat diampuni terhadap
kepercayaan dan persembahan mereka. Suara marah, jengkel dan kutukan terdengar
dari segala penjuru, yang menuntut agar si pelaku diminta bertanggung jawab
dalam suatu pengadilan terbuka, di mana seluruh rakyat penduduk kota dapat
turut serta menyaksikannya.
Dan memang itulah yang diharapkan
oleh Nabi Ibrahim agar pengadilannya dilakukan secara terbuka di mana semua
warga masyarakat dapat turut menyaksikannya. Karena dengan cara demikian beliau
dapat secara leluasa berdakwah menyerang kepercayaan mereka yang bathil dan
sesat itu, seraya menerangkan kebenaran agama dan kepercayaan yang ia bawa,
kalau diantara yang hadir ada yang masih bisa diharapkan terbuka hatinya untuk
beriman dari tauhid yang ia ajarkan dan ia dakwahkan. Hari pengadilan
telah ditentukan dan datanglah semua rakyat dari segala pelosok berduyun duyun
mengujungi padang terbuka yang telah disediakan untuk sidang pengadilan itu.
Ketika Nabi Ibrahim datang
menghadap Raja Namrud yang akan mengadili ia disambut oleh para hadirin dengan
teriakan kutukan dan cercaan, menandakan sangat gusarnya para penyembah berhala
terhadap beliau yang telah berani menghancurkan persembahan mereka. kemudian
Nabi Ibrahim Ditanya oleh Raja Namrud:”Apakah engkau yang melakukan penghancuran
dan pengrusakkan tuhan-tuhan kami?” Dengan tenang dan sikap dingin, Nabi
Ibrahim menjawab:”Patung besar yang berkalung kampak di lehernya itulah yang
melakukannya. Coba tanya saja kepada patung-patung itu siapakah yang
menghancurkannya.” Raja Namrud pun terdiam sejenak. Kemudian beliau berkata:”
Engkaukan tahu bahwa patung-patung itu tidak dapat berbicara dan berkata
mengapa engkau minta kami bertanya kepadanya?” Tibalah waktunya yang memang
dinantikan oleh Nabi Ibrahim, maka sebagai jawaban atas pertanyaan yang
terakhir itu beliau berpidato membentangkan kebathilan persembahan mereka, yang
mereka pertahankan mati-matian, semata-mata hanya karena adat itu adalah
warisan nenek-moyang.
Berkata Nabi Ibrahim kepada Raja Namrud itu:”Jika
demikian halnya, mengapa kamu sembah patung-patung itu, yang tidak dapat
berkata, tidak dapat melihat dan tidak dapat mendengar, tidak dapat membawa
manfaat atau menolak mudharat, bahkan tidak dapat menolong dirinya dari
kehancuran dan kebinasaan? Alangkah bodohnya kamu dengan kepercayaan dan
persembahan kamu itu! Tidakkah dapat kamu berpikir dengan akal yang sehat bahwa
persembahan kamu adalah perbuatan yang keliru yang hanya dipahami oleh syaitan.
Mengapa kamu tidak menyembah Tuhan yang menciptakan kamu, menciptakan alam
sekeliling kamu dan memberi kamu berkuasa dimuka bumi dengan segala isi dan
kekayaan. Alangkah hina dinanya kamu dengan persembahan kamu itu.”
Setelah selesai Nabi Ibrahim
menguraikan pidatonya itu, Raja Namrud mencetuskan keputusan bahwa Nabi Ibrahim
harus dibakar hidup-hidup sebagai hukuman atas perbuatannya menghina dan
menghancurkan tuhan-tuhan mereka, maka berserulah para hakim kepada rakyat yang
hadir menyaksikan pengadilan itu:”Bakarlah ia dan bela lah tuhan-tuhanmu, jika
kamu benar-benar setia kepadanya.”